"Cepat habis bulan ini, lebih cepat habis gajinya Papa." ujar istriku dalam obrolan receh suatu hari. Berdua, kami terkekeh. Ya, demikianlah cara kami "menertawakan" hidup.
Hidup itu berat dan penuh tantangan. Tapi tak berarti berkat Tuhan kurang dalam hidup kita.
***
Kesulitan hidup yang berkepanjangan cenderung membuat manusia mudah mengeluh, atau bertindak dengan pengertian sendiri. Hal ini juga dilakukan oleh Bangsa Israel dalan perjalanan keluar dari tanah perbudakan--Mesir menuju Tanah Perjanjian--Kanaan.
Yakub dan keluarganya--cikal bakal Bangsa Israel--tinggal di Tanah Kanaan. Setelah Yusuf mengaku diri di depan saudara-saudaranya, ia mengundang ayah dan seluruh keluarganya, ternak dan segala harta bendanya pindah ke Mesir. Migrasi ini didorong bencana kelaparan hebat di seluruh Bumi, termasuk negeri itu. Sedang Yusuf telah menjadi mangkubumi di Mesir.
Durasi perjalanan keluarga Yakub dari Kanaan ke Mesir tidak disebutkan eksplisit di Alkitab. Jarak antara Hebron (di Kanaan) ke Gosyen (di Mesir), tempat mereka menetap, adalah sekitar 200-300 mil (320-480 km). Perjalanan waktu itu dengan berjalan kaki atau naik hewan, satu keluarga besar, ternak, dan barang-barang. Perjalanan ini bisa memakan waktu hingga beberapa bulan. (Bible.org)
Keluarga Yakub perlu beberapa bulan dari Kanaan ke Mesir. Tapi perjalanan keluar dari Mesir ke Kanaan perlu waktu 40 tahun lewat padang gurun. Why? Bisa jadi Tuhan ingin melakukan seleksi alam (yang keluar dari Mesir dan masuk Kanaan beda generasi), untuk menguji kesetiaan mereka, dan agar mereka makin mengenal Tuhan.
Namun, jauh panggang dari api. Bukannya belajar percaya kepada Allah, bangsa Israel terus mengeluh karena tidak ada makanan dan minuman. Bisa mati di padang gurun karena kelaparan, pikir mereka.
Tercatat setidaknya tiga kali Bangsa Israel menggerutu pada Musa. Mereka menganggap lebih baik bekerja pada orang Mesir (sebagai budak) daripada mati di padang gurun. (Keluaran 14:21) Tidak ada air yang bisa diminum, bersungut-sungut. Di Mara ada sumber air, tapi pahit. (Kel. 15:23:24) Bangsa Israel lebih memilih mati di Mesir menghadapi kuali daging dan makan roti sampai kenyang. (Kel. 16:2-3) Mereka hanya memikirkan perut.
Sebenarnya perjalanan di padang gurun ini menjadi cara Tuhan untuk menyatakan kasihNya. Selama ini mereka mengenal Tuhan lewat perantara yaitu Musa (nabi) dan Harun (imam). Dari kisah Bangsa Israel ini kita bisa belajar dua hal:
1) Tuhan memelihara
Selama di padang gurun, yang menyatakan pemeliharaan langsung adalah Tuhan, bukan Musa maupun Harun. Tuhan tidak memanggil tanpa menyertai. Makanan dan minuman sebagai kebutuhan dasar Tuhan sediakan selama di padang gurun meski selalu didahului dengan sungut-sungut orang Israel.
2) Tuhan sebagai Penopang
Kemurahan Tuhan dibuktikan dengan menopang bangsa Israel. Sungut-sungut umatNya selalu direspons dengan kemurahan. Ia memberikan apa yang dibutuhkan yakni makanan, minuman, bahkan perlindungan dari panas (tiang awan) dan gelap (tiang api). Perasaan yang menguasai bangsa Israel yakni gelisah, kuatir, dan gamang (ragu-ragu). Sebab mereka belum mengenal Tuhan, belum bisa melihat tujuan akhir, sedangkan perjalanan yang dilalui penuh tantangan.
Kondisi bangsa Israel ini menggambarkan mereka menggantungkan hidup kepada Musa dan Harun. Buktinya, mereka mau keluar dari Mesir dengan ajakan Musa. Padahal, Musa juga manusia yang terbatas dan penuh kelemahan.
Bagaimana dengan kita?
Kita menjalani hidup dengan iman bahwa segala yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidup kita adalah yang terbaik. Namun, bagaimana kita bisa taat dan menghidupinya?
Harus memiliki pengenalan pribadi dengan Allah
Kalau kita mengenal orang tua kita, pasti kita tahu hal-hal apa yang bisa membuat mereka senang atau marah. Sebaliknya, mereka pasti tahu apa yang menjadi kesukaan maupun kesulitan kita. Pengenalan pribadi kepada Allah diwujudkan dalam kesetiaan dalam HPDT (hubungan pribadi dengan Tuhan), berdoa, Pendalaman Alkitab, dan beribadah.
Tidak cukup hanya mengenal Musa dan Harun, bangsa Israel harus mengenal Tuhan secara pribadi. Bagaimana mempercayai Tuhan di tengah gurun, hingga empat dekade lamanya? Roti manna, burung puyuh, mata air dari bukit batu adalah bentuk pemeliharaan Tuhan selama di padang gurun.
Tuhan memberi manna dan burung cukup untuk kebutuhan sehari. Jika mengambil lebih dan sisa, akan busuk. Tapi menjelang Sabat (hari perhentian), mereka diizinkan mengambil dua kali lipat dari hari biasa, dan tidak busuk. Itulah rancangan Tuhan yang terbaik untuk kita.
Banyak dari kita mungkin bergaji pas-pasan, malah sering kurang. Alih-alih mengeluh dan tidak meragukan Tuhan, harusnya kita percaya Tuhan akan memelihara. Selain setia HPDT, janganlah kita menjeratkan diri pada pinjol atau hutang yang tidak sanggup kita bayar.
Masih khawatir tentang makanan, apa tidak kenal Tuhan? --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H