Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Bukan Memberi HP, Kami Bangga Anak Batita Suka Membaca

6 Agustus 2024   12:00 Diperbarui: 6 Agustus 2024   12:03 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak mungkin gagal mendengar orang tua. Tapi anak tak pernah gagal mengikuti tindakan kita.

Demikian kutipan istriku di salah satu story WA. Singkat, tapi menusuk.

***

Sabtu pagi, sepulang dari sarapan bubur, istriku memasak. Sedang aku bersiap untuk mandi. Anak kami...? Ia kedapatan minum susu bermerek beruang bergambar naga sambil membolak-balik buku.

Ini bukan pemandangan baru di rumah kami. Dari buku cerita Alkitab anak, buku dino, dongeng anak anjing, cerita semut, gajah sampai--yang terakhir ensiklopedia organ tubuh; anak kami sudah "khatam". 

Emang anak batita sudah bisa membaca? Jelas, belum. Tapi, kesukaannya membuka buku berisi gambar-gambar, dan permintaannya untuk dibacakan olehku atau istri menunjukkan ia memiliki minat baca sejak dini.

Tidak muncul otomatis 

Ada anak yang dilahirkan secara cerdas dari sononya. Berbahagialah orang tuanya. Bagaimana dengan anak yang biasa saja, apakah orang tuanya lantas tidak bahagia?

Jika semua anak sudah cerdas, sudah beres otomatis, maka Tuhan tidak perlu repot-repot melibatkan kita sebagai orang tua. Anak harus dilatih, dididik, dan diajari. Itulah tugas kita sebagai orang tua.

Alih-alih otomatis, kesukaan anak kami melihat buku bergambar adalah hasil olah otaknya dalam melihat, mendengar, dan meniru dari lingkungan, termasuk dari kami orang tuanya.

Peran kami yakni memberi beragam stimulus agar otaknya bisa berkembang untuk berpikir dan bertindak. Salah satu yang kami stimulus adalah minat bacanya. Aku suka membaca (makanya aku bisa menulis di Kompasiana), demikian juga istriku (meski ia masih angot-angotan).

Sejak usia setahun, kami sudah mengenalkan flash card bermacam-macam hewan, buah-sayur, dan benda-benda di sekitar kepada anak. Seiring bertambah usianya, kami kenalkan padanya buku bacaan singkat (satu halaman hanya satu kalimat). Kami juga membacakan buku cerita Alkitab (pengganti buku dongeng) menjelang tidur. Lama-kelamaan ia minta dibacakan buku-buku yang lain.

Sejak dalam kandungan

Tentu Bunda tahu, bahwa para pendiri perusahaan teknologi raksasa seperti Meta, Apple hingga Google adalah orang Yahudi. Kesuksesan mereka bukan diperoleh secara instan. Konon, para perempuan Yahudi yang hamil, sudah memberikan 'tes' pada anak-anaknya yang masih di dalam kandungan.

Maksud?

Ya, waktu sang ibu hamil, ia terbiasa mengerjakan soal-soal matematika dan teka-teki. Ibunya belajar, anaknya bisa terstimulus otaknya sejak di dalam kandungan. Logika sederhana, apa yang dikonsumsi, dilihat, didengar, dialami dan dirasakan ibu dialami juga oleh bayi di dalam kandungan.

Aku mencoba menerapkan metode itu. Alih-alih memberi HP agar anak tenang-orang tua senang, kami memberikan buku bacaan pada anak. Sejak istri hamil, aku membacakan satu ayat Alkitab setiap hari hingga komik Alkitab. Istriku yang melihat dan mendengar cerita, anak kami dari dalam perut bisa meresponsnya. Entahkah metode itu sukses atau tidak, jelasnya aku dan istri terus memberi dukungan dan stimulus pada anak.

Berjalan lancar?

Jelas tidak. Namanya juga anak-anak. Kadang cepat bosan, kadang asal diambil dan bukunya jadi berantakan. Bahkan, karena terlalu semangat membalik halamannya, beberapa bukunya sobek. Ada yang hanya beberapa senti meter, ada yang satu halaman penuh. Bagi pecinta buku, piye perasaanmu?

Buku cerita Alkitab yang kami bacakan adalah pemberian adik ipar, harganya sampai Rp300.000 (Kami sendiri tak sanggup membelinya). Dibelikannya buku itu sebagai wujud cinta pada keponakannya. Namun malah disobek anak kami. Aku pun memperbaikinya dengan selotip. Sobek lagi, perbaiki lagi, dan lagi. 

Kami mengajar anak agar merawat barang-barangnya, apalagi pemberian orang, harus bersyukur dan menghargai orang yang sudah memberi. Ini pun menjadi pelajaran hidup bagi anak dan kami orang tuanya. Harga buku mahal, tapi menumbuhkan minat baca anak, mengajari untuk merawat barang-barang meski disobek juga; lebih mahal harganya.

Demikian ceritaku. Aku bangga bukan karena memberi HP seperti orang tua kebanyakan, tapi karena anak batita suka membaca buku. --KRAISWAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun