Sebaliknya, batita yang diperlakukan tega oleh orang tuanya itu sudah bisa berlatih memahami otoritas orang tua dan belajar mandiri sejak dini. Sebab, orang tuanya rela mendisiplin anaknya, rela anaknya 'menderita' sesaat demi bisa bertanggung jawab di masa depan.
"Tempalah besi selagi masih panas"
Demikian adalah nasihat Pak Pendeta untuk kami saat membaptiskan anak kami di gereja. Pandai besi akan memukul berkali-kali dan segera selagi besi itu masih panas sampai menjadi bentuk yang diinginkan. Setelah tidak panas, besi hampir mustahil dibentuk. Kalau pun bisa, sangat susah.
Begitu juga dalam hal mendisiplin anak. Lebih mudah mendisiplinnya saat ia "masih panas". Kita bisa ikut terluka saat menempa besi panas ini. Tapi sepadan dengan hasil yang akan diterima. Daripada setelah besar anak tidak lagi bisa ditempa, menimbulkan luka permanen bagi orang tua maupun anak itu sendiri.
Kami mendisiplin anak kami dengan mengantar ke Sekolah Minggu tiap hari Minggu jam 7 pagi, membatasi kontak pada HP, membacakan cerita Alkitab maupun buku-buku cerita anak, menerapkan toilet training, meminta membereskan mainan setelah selesai dipakai, serta mengajarkan kata-kata ajaib: terima kasih, tolong, dan maaf.
Hai-hari ini, kami mulai melihat hasilnya. Ia akan minta tolong jika tidak bisa melakukan sesuatu sendiri, bilang "pinjam ya" pada mainan teman, bilang "pipis" sebelum pipis, minta dibacakan cerita Alkitab sebelum tidur, dan tahu membereskan mainan saat aku atau istri sudah membuatkan susu sebelum tidur.Â
Kami berharap karakter disiplin dan mandiri ini akan terus berkembang hingga ia dewasa. --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H