Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Home Artikel Utama

Mending KPR, Mengontrak, atau Tinggal dengan Orangtua?

19 Mei 2024   23:10 Diperbarui: 22 Mei 2024   22:15 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Getty Images/Edwin Tan

Papan menjadi kebutuhan dasar manusia selain pangan dan sandang. Manusia disebut sejahtera kalau setidaknya ketiga hal itu bisa terpenuhi.

Ada orang yang masih muda, kariernya bagus, sudah bisa mencicil rumah, tapi sampai banyak usianya belum punya pasangan. Sebaliknya, ada yang sudah menikah dibelain pindah-pindah kontrakan sampai punya anak, belum juga punya tempat tinggal tetap.

Ada juga yang sudah berkeluarga, penghasilan besar, berasal dari Kota A, tapi tinggal dan bekerja di Kota B. Keluarga ini galau, apakah mau tetap mengontrak atau membeli rumah. Membeli rumahnya di Kota A supaya bisa untuk pensiun, atau di Kota B untuk tempat tinggal saat ini.

Contoh-contoh fenomena di atas menjadi bukti bahwa hidup manusia tidak ada yang sempurna. Tak perlu kita iri dengan kesuksesan orang lain dengan menjadikan materi sebagai tolok ukur, padahal masing-masing ada kekurangan dan kelebihannya. Wang sinawang, yang terlihat mata belum tentu demikian realitanya.

Tetapkan target

Hidup ini harus punya target, atau sebutlah tujuan. Setelah lulus SD, lanjut ke jenjang SMP, SMA, lalu kuliah. Lulus kuliah, harus menargetkan untuk mendapat pekerjaan yang mapan, dan menabung. Setelah dirasa punya cukup tabungan, apakah mau menyenangkan orang tua dan diri sendiri, membeli rumah dulu atau justru menikah.

Buat target yang terukur sesuai kemampuan masing-masing. Misal kita masih lajang, punya cukup gaji untuk membeli barang-barang keperluan, termasuk membeli rumah. Tidak ada salahnya punya rumah dulu sebelum menikah. Asalkan segera membuat target berikutnya, yakni menikah (kalau panggilannya menikah).

Getty Images/Edwin Tan
Getty Images/Edwin Tan

Aku dan pacarku punya target menikah dua tahun setelah pacaran. Faktor pendukungnya yakni sudah lama mengenal sejak mahasiswa, sudah mendoakan kriteria Pasangan Hidup, sudah sejalan, dan--tak boleh ketinggalan--faktor usia.

Alih-alih berfokus pada punya rumah duluan, kami memilih untuk menikah, membina rumah tangga. Nanti setelah nikah tinggal di mana? Itu yang akan jadi target berikutnya untuk kami capai.

Sesuaikan dengan kebutuhan

Kebutuhanku dan pacar saat itu adalah segera menikah. Dari faktor usia, kematangan emosional, dan komitmen kami siap. Terkait uang? Tidak siap-siap amat, tapi bisa menabung berdua karena sudah sejalan. (Kami membayar sinamot dari sebagian besar tabungan kami, tidak membebankan penuh pada orang tua.)

Meski tak punya uang, kami punya prinsip. Setelah menikah, kami menjadi keluarga baru. Yang akan mengelola kehidupan rumah tangga ya aku dan istri. Maka, kami tidak ingin tinggal dengan orang tua. Kami tidak ingin nanti bergesekan dengan mereka, karena pasti nilai-nilai yang kami terapkan dalam keluarga bakal berbeda. Itu prinsip.

Kami mendiskusikan tempat tinggal sejak persiapan menikah. Jadi setelah menikah, tidak pusing akan tinggal di mana. Apakah mau mengontrak rumah, atau ngekos di satu kamar tak masalah. Toh sekedar untuk menyandarkan kepala kan? Kalau pun bisa mengontrak, kami akan mencicil dua kali bayar. Sesederhana itu pikiran kami di awal.

Ternyata... Mencari kontrakan yang terjangkau jarak (dari tempatku bekerja) dan harga susah minta ampun. Sudah mencari kontrakan susah, uangnya juga belum ada. Wah, nekat!

Kami terus membawa pergumulan ini dalam doa sambil bertanya pada teman, kakak rohani, maupun kenalan. Namun, tanpa kami duga ada satu kakak alumni yang meminjamkan rumah kosongnya untuk kami tinggali selama setahun, gratis! Wow! Setahun ini menjadi kesempatan kami bernafas untuk menentukan langkah selanjutnya.

Kita yang memilih, kita yang menjalani

Orang lain mungkin bisa beli rumah sejak masih lajang. Yang lain bisa beli rumah di Kota A, meski bekerja di Kota B. Yang lain lagi punya lebih dari satu rumah, jadi tak pusing urusan tempat tinggal.

Supaya tidak stres, fokus pada kebutuhan dan sumber daya yang kita punya.

Kalau ada uang, lalu sudah sepakat dengan pasangan mau ambil KPR, hajar! Kalau sanggupnya baru mengontrak, syukuri. Kalau bisanya tinggal dengan orang tua? Syukuri juga. Hanya, kalau seperti prinsip kami tidak ingin tinggal dengan orang tua. Kalau pun tinggal sementara dengan orang tua boleh, usahakan berpisah kemudian. (Kecuali rumah orang tua nantinya diwariskan pada kita.)

Ada juga orang yang visioner. Misal uang kontrakan 20 juta/tahun. Daripada mengontrak terus, dengan hidup hemat uang sewa itu bisa untuk DP rumah (KPR). Perumahan bersubsidi pun tak apa. Tapi sekali lagi, kembali pada masing-masing pribadi maupun dengan pasangan.

Penutup 

Mau mengontrak, KPR, atau tinggal dengan orang tua ada kelebihan dan kekurangannya. Balik lagi pada kebutuhan masing-masing.

Kuncinya harus punya prinsip/target. Harus pintar menabung. Kalau sendiri ya harus teliti, tidak menghambur-hamburkan uang. Kalau sudah menikah, harus sepakat dengan pasangan.

Mau di gubuk reyot pun, asal selalu denganmu aku rela. Asek! --KRAISWAN 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Home Selengkapnya
Lihat Home Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun