Anak, meski dilahirkan dan dibesarkan oleh Ibu, tetaplah pribadi yang punya hasrat, keinginan dan impian sendiri, bisa saja berbeda dengan Ibu. Orang yang telah menikah dianggap sudah dewasa dan bisa menentukan jalan hidup sendiri. Bisa mengambil keputusan sendiri termasuk konsekuensinya. Seorang anak memang harus meninggalkan Ayah dan Ibunya untuk membina keluarga sendiri.
sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya,
Markus 10:7
Seorang Ibu harus merelakan anaknya untuk hidup bersama pasangannya. Ibuku merelakan aku untuk membina rumah tangga dengan istriku. Demikian juga dengan ibu mertuaku. Mereka tahu batasan sebagai Ibu. Campur tangannya tidak sebesar saat anak-anaknya masih lajang.
2) Ada penerimaan
Tahun 2019 pertama kali pacarku kuajak ke rumah, berkenalan dengan orang tuaku. Ia mengaku kikuk, bingung mau mengobrol apa. Selain belum pernah pacaran, baru kali ini ia bertemu calon mertua. Meski begitu, pacarku cepat beradaptasi. Sebab ia sudah hampir sepuluh tahun di Jawa, sudah banyak membaur dengan Orang Jawa.
Setelah menikah (di masa pandemi), dan kondisi pandemi Covid-19 mulai mereda kami sering bermain ke tempat Bapak-Ibu. Aku juga mengenalkannya pada kerabat Bapak Ibu. Lebih intens lagi saat anak kami sudah lahir dan cukup berani untuk diajak bepergian ke luar rumah. Istriku membantu memasak, lalu makan bareng Bapak dan Ibuku.Â
Lewat keseharian itu, istriku dan Ibu bisa saling mengenal, menerima keberadaan, bahkan saling menolong. Keluargaku menerima istriku, meski mereka tahu berbeda suku. Ibuku lebih lagi, ia percaya sosok yang aku pilih adalah sosok yang tepat.
Selain itu, orang tuaku berpikiran terbuka. Setelah anaknya menikah, anak jadi bertambah. Penerimaan Ibu ini membuat kami lebih leluasa dan mandiri dalam menjalani hidup berumahtangga.
3) Berjalan bersama
Prinsipku saat menggumulkan dan mendoakan Pasangan Hidup adalah menemukan sosok yang bisa berjalan beriringan seperti sepatu. Itu artinya bisa menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. Puji Tuhan, doa itu terwujud. Maka, relasi istriku dengan Ibu juga memakai prinsip berjalan bersama.
Anak dan orang tua harus bisa berjalan bersama, termasuk dalam hubungan menantu dan mertua. Meski tidak tinggal bersama orang tua, kami bisa berjalan bersama. Hal ini diwujudkan dengan rutin mengunjungi orang tua. Kami beberapa kali menitipkan anak saat ada keperluan. Mereka dengan senang hati bisa mengasuh dan bermain dengan cucu pertamanya.
Kami berusaha membantu pekerjaan Ibu, yakni ke ladang, belanja, maupun beberes rumah. Kami juga menginap di tempat Bapak-Ibu saat libur atau weekend. Meski sederhana, kami bersyukur bisa menikmati waktu di kampung bersama orang tua. Suasana di kampung yang tenang, sejuk, dan asri membuat kami seperti live in ke pelosok desa. Diwarnai dengan kokok ayam, kicau burung, dan pemandangan langit yang syahdu.
"Kalau Mama di sini (di Jawa), aku pun akan memperlakukannya dengan cara yang sama seperti kepada Ibu," ujar istriku. --KRAISWAN