Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sekolah Gratis tapi Seragam Mahal, Orang Tua: Rugi Dong!

26 April 2024   11:44 Diperbarui: 26 April 2024   14:09 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seragam sekolah | gambar: pictastar.com via idntimes.com

Ramai di medsos tentang seragam sekolah yang mahal. Aku cari jejaknya di Google, ternyata bukan tren baru. Sebab, berita ini viral justru di tahun 2023.

Akibat efek viral ini, lahir pro dan kontra tentang seragam sekolah. Satu kubu ingin pendidikan di Indonesia tidak usah memakai seragam supaya tidak merepotkan. Kubu lain menilai, seragam diperlukan untuk menjaga persatuan, agar tidak menonjolkan kesenjangan sosial di masyarakat.

Perdebatan ini bisa melebar karena memang ada kekurangan dan kelebihan dari setiap kebijakan. Maka, sekolah dan lembaga pembuat kebijakan memegang peranan kunci.

Sebuah SMA di Tulungagung, Jawa Timur menerapkan tarif seragam lebih dari Rp2 juta. Hal ini yang membuat orang tua keberatan sebab terlalu mahal. Pengakuan salah satu wali murid, harga seluruh paket seragam mencapai Rp2.360.000. Harganya lebih mahal dibanding yang ada di pasar. Itupun beberapa masih berwujud kain, masih harus dibawa ke penjahit. Bakal nambah ongkos lagi. Tak dapat disangkal, pihak orang tua menduga sekolah mengambil untung berlebih. 

Sekolah gratis tapi seragamnya mahal, rugi dong!

Meski pihak sekolah berdalih tidak mewajibkan, sekedar memfasilitasi pembelian seragam, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai sekolah seharusnya tidak menjual seragam. 

Dalam Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022 tentang Pakaian Seragam Sekolah Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah pasal 13, tertera bahwa sekolah tidak boleh mengatur kewajiban dan atau membebani kepada orang tua atau wali Peserta Didik untuk membeli pakaian seragam. Kalau pun sekolah ingin membantu pengadaan seragam, mereka harus memprioritaskan Peserta Didik yang kurang mampu untuk membeli seragam dengan harga terjangkau.

Keharusan membeli seragam sekolah ini berdampak tidak hanya aspek ekonomi, tapi juga mental peserta didik. Misal ada orang tua yang tidak membeli seragam yang disediakan sekolah, lalu warnanya berbeda, anak bisa di-bully, orang tua diintimidasi, anaknya dikucilkan. Bisa jadi panjang buntutnya.

Sekolah tidak boleh menjual seragam, itu sudah jelas. Jika sekolah berjualan seragam, lanjut Ubaid, itu jelas salah. Kedua, bisa jadi ada motif pungutan liar, pengambilan keputusan secara gelap. Ini jadi akal-akalan sekolah untuk mengambil untung.

Daftar harga paket seragam di SMAN 1 Kedungwaru Tulungagung | dokumentari ortu murid via bbc.com
Daftar harga paket seragam di SMAN 1 Kedungwaru Tulungagung | dokumentari ortu murid via bbc.com

Salah satu orang tua murid membagikan daftar harga seragam di SMAN 1 Kedungwaru. Misalnya, 1 stel seragam abu-abu putih Rp359.400, 1 stel batik Rp383.200, 1 stel seragam khas Rp440.550, termasuk tas, atribut dan jilbab yang masing-masing harganya di atas Rp130.000. Uniknya, totalnya semuanya bisa bulat Rp2.360.000.

Untuk sekolah negeri, harga 1 stel seragam hampir Rp500.000 jelas tidak masuk akal. Ini bukan lagi niat untuk memfasilitasi orang tua, melainkan mengakali.

Pemprov Jawa Timur telah meminta dinas pendidikan untuk membuat surat edaran ke masing-masing sekolah terkait seragam sekolah. Wagub Jawa Timur Emil Dardak menegaskan, sekolah tidak boleh memaksa pembelian seragam pada orang tua, apalagi kalau harganya terlampau mahal. Disdik Jawa Timur menindak tegas hal ini. Kepala SMAN 1 Kedungwaru Norhadin resmi dinonaktifkan sementara.

Jual beli seragam sudah membudaya

Perhimpunan Pendidikan Guru (P2G) sangat menyesalkan praktik jual beli seragam sekolah yang mahal di Tulungagung. Praktik ini sudah berlangsung lama di sekolah negeri. Mengapa hal ini terjadi? Sebab, tidak ada pengawasan dan sanksi tegas dari Disdik atau kepala daerah.

Faktor monitoring yang administratif juga menjadi penyebab. Tidak ada pencegahan maupun tindakan tegas dari pihak berwenang. Syukurnya, ada orang tua yang berani mengungkap fakta ini di media sosial. P2G meminta orang tua dan siswa harus berani menyuarakan kebenaran jika terjadi penyimpangan aturan di sekolah.

Ceritaku tentang seragam

Di zamanku sekolah, belum ada program sekolah gratis. Semuanya masih berbayar, termasuk seragam. Gejolak biaya seragam mulai terasa di jenjang SMP, masa praremaja di mana para murid mengalami lonjakan volume, bobot, dan ukuran tubuh. Untuk seragam nasional masih mending, jika sudah tidak muat bisa dibeli di pasar. Sedang seragam khas sekolah (biasanya lebih dari satu), harus beli kain lagi, menjahit lagi, ongkos lagi.

Aku adalah anak yang dikaruniai tubuh minimalis (baca: kecil). Sehingga tidak perlu sering ganti seragam. Bahkan orang tuaku punya trik jitu turun-temurun. Kalau beli  atau menjahit baju, naikkan 1-2 ukuran di atasnya. Jadi masa pakainya lebih tahan lama. Kreatif beda tipis dengan pelit. 

Efek sampingnya, aku kerap menjadi salah satu sasaran bullying. Hingga SMA, badanku tetap mungil seperti anak SMP. Saat ini, sudah menjadi guru SD badannya juga kalah besar dibanding murid. Tak mengapa yang penting tetap sehat, hibur ibuku.

Orang tua di zaman itu tidak terlalu dibebani dengan biaya seragam. Meski begitu, ada kebutuhan lain yang harus dipenuhi. Membeli buku, sepatu, dan atribut pramuka misalnya.

Penutup

Viralnya kasus seragam mahal di atas hanya terjadi di beberapa sekolah. Meski tidak menutup fakta, di sekolah lain juga terjadi kasus serupa, namun tidak dilaporkan. Untuk sekolah yang terbukti melakukan penyimpangan, harus diberi sanksi tegas. Maka, peran orang tua/murid penting. Dengan mengunggah di media sosial, contohnya. Banyak kasus di pendidikan khususnya, baru terkuak dan bisa ditangani setelah viral di medsos.

Atas fenomena ini, tidak tepat jika mewacanakan untuk meniadakan seragam di sekolah. Sebab, seperti contoh di atas misalnya. Kalau ada murid memakai seragam berbeda dari teman-temannya, bisa menjadi sasaran bullying. Kesenjangan sosial akan terjadi tanpa pemakaian seragam di sekolah. Sedangkan, saat ini dengan pemakaian seragam pun masih nampak kesenjangan sosial. Apalagi dengan tren pamer kekayaan yang dilakukan oleh anak pejabat.

Aturan dibuat dalam rangka mendidik dan mendisiplin peserta didik, salah satunya pemakaian seragam. Kalau ada kebijakan yang menyimpang, tidak langsung bisa menghapuskan aturannya. Yang dikritisi itu kebijakan yang keliru, bukan esensi aturannya. Semoga tidak ada lagi kasus-kasus yang merugikan orang tua seperti harga seragam mahal ini. --KRAISWAN 

Referensi: 1, 2, 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun