Tak harus menunggu liburan, libur menjadi waktu yang cocok dan leluasa untuk bermain bersama anak.
Suatu hari temanku mengirim poster pembukaan sebuah supermarket baru di pinggiran kota Salatiga. Mal dan supermarket adalah salah satu tempat yang bukan prioritas untuk kami kunjungi bersama anak. Tapi, karena ada play ground yang katanya murah, kami mempertimbangkannya. Demi anak kami.
Anak kami menunjukkan kecenderungan kinestetik yang dominan. Kalau sedang sehat-sehatnya, ia bisa mengatur (baca: memporak-porandakan) tidak hanya mainan, tapi juga perkakas memasak, make up istri, buku-buku, sendal, dan apa pun yang bisa disentuhnya.
Bahkan, kedua kakiku yang diluruskan saat duduk di kursi bisa jadi perosotan buatnya. (Imajinasinya tingkat tinggi) Tak cukup di sana. Benda-benda berbentuk segi empat bisa jadi kamera, "Poto!", ujarnya bak fotografer betulan sambil meminta orang lain berpose.
Semua benda berbentuk lingkaran jadi sopiran (stri mobil). Panci dan wajan mamaknya berikut mainan kaleng jadi set drum. Terkait jiwa seni lukis, kami sudah fasilitasi dengan kertas gambar, sampai aku belain memberi clipboard yang biasa untuk alas ujian. Faktanya, media lukisnya tak cukup. Alhasil, tembok pun menjadi canvas.
Salahkah tingkah anak kami?
Semoga tidak. Sejauh ini, kami melihat ia berkembang optimal secara holistik. Justru itu indikator anak yang sehat, komentar beberapa rekan. Yang jadi kurang sehat ya mamaknya kalau rumah terus berantakan, mau lima kali sehari pun dibereskan. Hahaha... (Di sinilah peran penting suami untuk turut menjaga kewarasan istri.)
Kembali ke play ground supermarket baru. Senin (11/3), libur Nyepi aku sudah menikmati quality time bersama istri. Selasa (12/3), libur awal puasa gantian kami menikmati waktu bersama anak. Atas tingkahnya yang heboh, main ke play ground ini bisa jadi jawaban.
Lokasinya dekat dengan rumah kami, hanya 10 menit naik sepeda motor. Kedua, harga tiket masuknya terjangkau, yakni Rp35.000 (weekend), Rp30.000 (weekday) sepuasnya!Â
Wahananya cukup lengkap dan luas. Ada kolam bola, perosotan, jalur halang-rintang, mobil-mobilan, sepeda-sepedaan, miniatur kitchen set, dan banyak lagi. Di luar play ground, masih ada miniatur kereta-keretaan, mobilan, dan sepeda motor yang layaknya buat anak remaja ke atas.
Dibanding di rumah yang wahana permainan dan anak sepantarannya terbatas, bermain di play ground ini jelas lebih menyenangkan.
Begitu tiba di area bermain, anak kami langsung celingukan melihat betapa banyak wahana di sini! "Mau aku coba satu persatu!" mungkin begitu pikirnya.
Dari mengajak anak ke play ground ini, ada tiga pelajaran.
1) Quality time bermain bersama anak
Konsep quality time aku pelajari saat mahasiswa. Aku ikut KTB (Kelompok Tumbuh Bersama), kelompok kecil terdiri 3-5 orang. Pertemuannya seminggu sekali untuk membahas firman Tuhan. Dalam KTB ini dikenal adanya quality time. Membagikan hidup dengan waktu-waktu bersama yang berkualitas. Selain belajar firman Tuhan, kami bisa sharing hal pribadi, lalu saling mendoakan.
Saat pacaran hingga menikah, aku dan istri terus menjaga konsep quality time ini. Kami teruskan hingga punya anak. Penting menikmati waktu berkualitas bersama anak. Tidak hanya bareng secara fisik, tapi jiwa dan emosionalnya. Ikut mainan bola, menjagai saat perosotan maupun naik sepeda-sepedaan. Bukannya menyerahkan anak pada HP.
2) Anak beradaptasi dengan lingkungan
Jika di rumah, anak kami hanya berinteraksi dengan papa, mama, tulang (paman) atau Mbah. Dengan anak tetangga sesekali. Agar perkembangan emosionalnya ideal, kami mengajak ke play ground ini yang banyak anak sepantarannya.
Sejak awal, kami mengajarkan anak kami agar berbagi. Di Sekolah Minggu juga diajarkan. Belakangan, anak kami enggan berbagi, khususnya dalam hal makanan. Saat ditegur, malah dia menirukan, "Katanya ndak boleh peyit (pelit)." Memang peniru ulung ini.
Di play ground itu, ia mencoba hampir semua wahana. Kalau mobil-mobilan kosong, dia naiki, tapi tak sampai tiga menit ditinggal. Ganti yang lain. Kalau ada orang yang memakai, dia akan langsung protes, "Ini punyatu!" Hal sama terjadi untuk mainan lain.
Dari mana jiwa egois ini? Itulah matur manusia berdosa. Tapi, dari sini anak kami memang harus belajar agar adaptif. Sepulangnya, kami pun meluruskan.
3) Tak selamanya orang tua bermain bersama anak
Di setiap masa, orang tua selalu punya alasan untuk membawa anak pergi bermain. Zamanku kecil dulu, karena orang tua tidak punya uang lebih. Sekarang, busa jadi karena sudah ada HP, kesibukan, dan sebagainya.
Maka, tugas kitalah untuk mencari solusinya. Di masa anak sedang aktif-aktifnya, paling pas orang tua mendampingi. Ini pun, takkan berlangsung lama. Memasuki SD kelas 5, bisa jadi mereka sudah tidak ingin main ditemani orang tua. Ada teman-teman dan sahabat yang lebih nyambung untuk diajak bermain. Dan waktu takkan terulang.
***
Dari kisah ini, yuk Ayah-Bunda, upayakan waktu bermain bersama anak! --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H