"Kalau di sekolah, harus belajar yang baik. Nurut pada Bapak/Ibu guru. Tidak boleh membantah. Tidak boleh membolos. Dan jangan bertengkar."
***
Demikian pesan orang tua zaman dulu pada anaknya yang masuk SD. Tapi di era medsos sekarang, bisakah anak patuh penuh dan jadi kalem?
Suatu hari Kamis, aku mendampingi anak-anak murid kelas 6 foto di studio untuk keperluan buku tahunan (yearbook). Mulanya, semua nampak berjalan lancar. Kami sudah mengomunikasikan jadwal pada orang tua, antrian sudah dibuat, sambil menunggu mereka boleh bermain kartu atau membaca buku; asal tidak bermain HP.
Omon-omon tentang HP, anak zaman sekarang hampir mustahil hidup tanpa HP, bahkan balita. Mau bagaimana, wong ini sudah zamannya. Lagi pula, orang tua ingin anaknya duduk manis, anteng, tidak merepotkan orang tua. Berikan HP, selesai soal.
Kelak, jika anak tidak menurut, tidak mendengar nasihat atau teguran, suka begadang dan malas belajar, jika anak kecanduan game atau aplikasi di HP, orang tua yang tanggung akibatnya. Yang memberi HP siapa?
Sejak awal tahun, sekolahku kembali menerapkan aturan "Dilarang membawa HP ke sekolah!"--sama seperti sebelum Pandemi Covid-19.
Untuk acara foto studio ini pun, yang mana masih agenda sekolah, anak-anak sudah lantang menanyakan boleh membawa HP atau tidak. Jawabanku? Tidak. Mereka takut, selama antri foto nanti mau ngapain, bakal bosan tanpa HP.
Anak-anak diminta datang jam 8 ke studio, sekitar jam 9 baru mulai karena pihak studio masih harus melakukan persiapan. Beberapa anak juga datang terlambat, karena masih make up.
Ada 45 murid kelas 6. Pengambilan foto tiap anak beragam durasinya. Ada yang bisa sekali shoot jadi, ada yang harus mengulang berkali-kali dengan pose berbeda--tergantung arahan fotografer.
Sambil menunggu antrian, anak-anak melakukan beragam kegiatan. Ada yang bermain kartu, bermain dengan anjing peliharaan pemilik studio. Ada yang pinjam HP buat konten Tiktok.
Ada yang lari-larian dan mengambil batu dan ranting di sekitar. Ada pula yang mengobrol akrab berdua, heyaaahh... Tak ketinggalan, ada yang main ciprat-cipratan air. Suasana hari itu pas panas-panasnya.
Saat adegan ciprat-cipratan inilah terjadi drama. Dimulai dengan rasa bahagia diiringi canda tawa, lalu berlanjut dengan pertengkaran dengan emosi membara.
Ini agenda foto buat katalog, sebagai kenangan sebelum lulus, malah diwarnai kegiatan bertengkar. Bukankah mereka kurang ajar? Ada guru yang mendampingi, ada banyak teman melihat, di luar area sekolah pula. Atau, wajar karena masih anak-anak? Apalagi di era medsos dan game online, mereka sering terpapar konten yang berisi kekerasan.
Kalau anak SD bertengkar, wajar atau kurang ajar?
Menilik dasarnya, setiap makhluk hidup akan mempertahankan diri jika mendapat ancaman. Naluri. Pertahanan dirinya pun bisa bermacam-macam. Berteriak, melotot, mengkritik, menggebrak meja, dan--pertahanan terbaik adalah--melawan. Demikian pun anak-anak. Wajar jika anak SD bertengkar, apalagi laki-laki. (Disclaimer: aku tidak membenarkan bertengkar sebagai solusi.)
Ceritanya, waktu menunggu antrian itu, di siang terik, beberapa murid pria bermain cipratan air dari botol air minum kemasan. Sudah aku tegur, banyak kali, tidak boleh menyia-nyiakan air minum. Ini air kran kok, Mr, katanya. Mau bagaimana, di siang terik ini, bermain air adalah kesenangan.
Si Jojo mencipratkan air pada si Momo. Si Momo balas menciprat, apes, Dodo ikut kena ciprat. Pas di dekatnya ada bongkahan batu, Dodo menggapainya dan melempar pada Momo. Syukurnya (tapi luka juga), cuma kena tangan. Momo tak terima, langsung mengajak berantem. Naluri.
Momo sudah panas, Dodo pun merasa jadi korban. Soal batu itu tetiba di tangannya, adalah rahasia ilahi. Jaka langsung membekap Momo--keduanya ikut bela diri karate dan taekwondo. Baba berusaha menenangkan Dodo meski berjarak, tak sampai membekap seperti dilakukan Jaka.
Atas kondisi itu, aku nge-freeze beberapa detik. Apa kira-kira yang bakal mereka lakukan, akankah sampai baku hantam? Padahal, di kelas mereka sering diajar supaya saling menghormati dan menghargai. Ini diajak foto buat kenangan selama di SD, malah diwarnai acara bertengkar. Itu kan kurang ajar namanya. Tidak mengasihi sesama, tidak menghormati guru yang menjaga.
Tanpa mencari tempat berteduh, aku minta Jaka dan Baba mundur, mencoba menengahi Momo dan Dodo, meski ikut naik tensi juga. Mana panas sekali.
Di depan puluhan pasang mata yang menonton, aku mau mereka berdamai di tempat. Akhirnya keduanya bermaafan, keduanya juga basah matanya.
Berkonflik itu wajar, namanya juga berinteraksi. Tapi, harus menahan diri supaya tidak terbawa emosi. Bertengkar tidak pernah menjadi solusi.
Teringat pesan guru SD-ku: Kalau berperang, yang menang jadi arang, yang kalah jadi abu.
Note: tak sampai 24 jam, dua anak pesakitan itu sudah duduk bersama, tak ada apa-apa kemarin. Anak-anak. --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H