Tahun baru, resolusi baru. Ini yang harusnya jadi agenda hidup kita untuk membuat perencanaan jangka pendek, menengah maupun panjang.
Hingga awal 2020, Yanti masih liburan di Salatiga. Kami menikmati malam tahun baruan di rumahku sambil bakar-bakar jagung dan sate bareng adikku. Tak lupa, aku dan Yanti beribadah tutup tahun bersama. Inilah momen yang baik untuk menikmati pergantian tahun bersama pacar.Â
Awal tahun baru. Sambil nongkrong di salah satu cafe kopi di Ungaran, kami membuat evaluasi dan resolusi. Layaknya mahasiswa, kami bisa membuat dengan detail. Hal ini penting supaya kami bisa mengambil refleksi atas setahun perjalanan yang telah dilalui. Hal-hal yang terlah tercapai, atau yang masih menjadi pergumulan. Perlu resolusi untuk waktu mendatang, musimnya mungkin berulang, tapi porsi dan warnanya berbeda. Bakal lebih unik dan menantang.Â
Salah satu resolusi kami di tahun 2020 adalah menikah. Bicara pernikahan, ada banyak hal harus dibicarakan, dipersiapkan dan dikerjakan dengan cermat. Sebab, sudah direncanakan saja bisa meleset. Apalagi jika tidak membuat rencana.
Bagi banyak pasangan yang akan menikah, pusing soal pesta, foto, dekorasi, dan kostum. Tapi tidak bagi kami. Kami tidak ingin menghabiskan dana dan tenaga untuk pesta yang berlangsung hanya 2-3 jam, sedang kehidupan pernikahan membentang bertahun-tahun setelah pesta.
Hal ini kami sadari sejak awal. Prinsipnya: persiapkan pernikahan sungguh-sungguh untuk semua detil yang bisa dipikirkan dan dikerjakan. Harapannya saat memasuki kehidupan rumah tangga tidak banyak benturan yang tidak perlu.Â
Kami menargetkan menikah di pertengahan 2020. Belum juga kami menangani perbedaan adat dan ekspektasi keluarga, kami--dan semua manusia di seluruh dunia--dihadapkan pada pandemi Covid-19 (pertama masuk Indonesia Maret 2020). Hampir semua sektor kehidupan lumpuh. Kita dipaksa untuk mendekam di rumah. Tidak bisa bertatap muka untuk bekerja, belajar, bermain, termasuk menikah.
Banyak bidang usaha harus menelan pil pahit, usahanya tidak berjalan, salah satunya wedding organizer. Banyak yang bangkrut, sekaligus muncul banyak jenis usaha yang baru.
Kami harus membuat skenario pernikahan. Kami menggumulkan apakah ke Medan naik pesawat, menyewa mobil, atau justru dilakukan di Jawa saja--seperti kerinduan kami di awal. Apakah bisa mengadakan pesta atau cukup syukuran. Mau menikah di Sumatra atau Jawa tetap berisiko terpapar Covid-19. Atau justru diundur ke tahun 2021? Iya kalau pandemi ini selesai 1-2 tahun. Kalau tidak? Jelasnya, kami tidak ingin pernikahan batal gegara Covid-19.
Kala memikirkan biaya dan teknis perjalanan, kami merasakan pertolongan Tuhan tentang bimbingan pranikah untuk menyiapkan pernikahan yang berkualitas. Kami mencari informasi di mana akan melakukan bimbingan. Di salah satu gereja kami, lembaga profesional atau melalui mentor.
Dari rekomendasi beberapa kakak alumni, kami diarahkan untuk menghubungi salah satu alumni Perkantas Purwokerto. Beliau punya latar belakang konseling pranikah. Ini pun tidak langsung menjadi mudah.
Kakak itu domisili di Purwokerto, aku di Salatiga, Yanti di Jakarta. Ketiganya terpisah di kota yang berbeda. Rencananya, saat liburan kami akan ke Purwokerto untuk bimbingan. Sambil ketemuan, jalan-jalan, sekalian bimbingan. Sekali dayung, tiga pulau terlampaui.
Februari 2020 kakak ini sedang mengisi materi dalam ret-ret di daerah Karangpandan, Karanganyar, Jawa Tengah. Kami meminta izin untuk bertemu dan menyampaikan maksud kami. Kakak itu setuju untuk kami temui di tengah kesibukannya.Â
Yanti pas ada dinas ke Kulonprogo, pas weekend. Aku meluncur ke Solo naik bis, lalu mencari persewaan sepeda motor. Aku menjemput Yanti di stasiun Purwosari, lalu meluncur ke lokasi ret-ret.
Kami diajukan beberapa pertanyaan dasar, sudah berapa tahun pacaran, benarkah kami sudah siap untuk menikah. Setelah cukup berdiskusi dan menceritakan maksud kami, kakak itu perlu istirahat. Syukurnya, kakak itu menyediakan layanan konseling online melalui panggilan video WhatsApp (waktu itu sudah bisa call conference). Kakak ini melayani juga pasangan yang LDR antar-kota. Siapa sangka, layanan ini sangat menolong bimbingan kami di masa pandemi.
Nanti malam selesai kakak itu sesi, kami diundang kembali untuk membahas materi. Bahannya sudah dikirimkan sebelumnya via email, sudah aku cetak berikut untuk Yanti. Maka kami pun pamit mencari tempat makan, sekaligus untuk menyiapkan materi sebelum diskusi dengan kakak itu.
Kembali ke tempat retreat. Di salah satu sudut ruang makan, kakak itu menjelaskan kurikulumnya. Materi ini terdiri dari 19 bab yang akan dibahas kurang lebih 6 bulan. Kami dijelaskan tujuan bimbingan pranikah, di antaranya mempersiapkan kehidupan pernikahan, memperjelas harapan masing-masing, dan meraih kehidupan pernikahan yang bahagia.
Kami juga diminta membaca pernyataan komitmen peserta dan menandatanganinya. Kami diberikan sejumlah pertanyaan, apakah sudah siap menikah serta mengisi data diri. Dari pertemuan pertama saja kami tahu, bahwa Tuhan membimbing langkah pernikahan kami melalui orang yang tepat. Selalu ada pimpinan Tuhan bagi mereka yang meminta dan mencari. Kiranya Tuhan menolong kami dalam hari-hari ke depan mempersiapkan pernikahan. --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H