Kalau belajar bahasa, harus dilafalkan berkali-kali, supaya terbiasa. Demikian ujar temanku, guru bahasa.
***
Dulu, bahasa adalah pelajaran yang tidak masuk akal bagiku--kalau tak mau disebut sulit--selain Matematika. Betapa tidak, kalimat yang panjang bak kereta dalam baris-baris paragraf, kosakata asing macam tak ada penciptanya, dan kadang harus menghafal.
Konotasi, denotasi, homofon, homograf, gagasan utama, homonim, sinonim, antonim... Zzzzzz... Di mana letaknya pintu keluar ini...?
Tapi, semua berubah saat negara api menyerang. Entah bagaimana, sang waktu menyeretku di semesta pendidikan. Mengajar anak-anak. Meneruskan wawasan. Membobol belenggu kepicikan.
Syukur kepada Tuhan, aku mengajar tidak hanya di sekolah, tapi juga privat. Anaknya pun bukan cuma Indo. Ada satu muridku keturunan Indo-Cina, satunya lagi warga negara India. Pada keduanya aku harus mengajar memakai Bahasa Inggris, mapel yang diajarkan Matematika dan Bahasa Indonesia.
Murid India ini menjadi satu jawaban doaku. Suatu waktu, aku berdoa ingin punya murid yang benar-benar mau belajar Bahasa Indonesia, meski aku sendiri tidak mahir. Mau mahir bagaimana, sedang masa sekolah pun aku bergesekan dengan bahasa.
Pas sekali, muridku ini pindahan dari Sekolah Internasional (kurikulum Amerika) ke sekolah nasional (sekolah tempatku mengajar) dengan bahasa Inggris sebagai second language.
Memangnya aku jago Bahasa Inggris? Jelas tidak. Tahu sedikit. Dari mana bisa tahu? Dulu pernah ada mata kuliah umum Bahas Inggris. Lebih banyak adalah menonton film dengan subtitle Bahasa Inggris. Selebihnya aku mendengar langsung bagaimana teman-temanku menuturkan kosakata sehari-hari.
Mengajari bahasa Indonesia untuk anak yang berbahasa Inggris, aku sanggup mengajarnya. Mengajar Matematika--ibu semua subjek--juga begitu. Hukum dasarnya sama, hanya beda bahasa.
Aku membahas muridku khusus yang belajar Bahasa Indonesia, orang India. Dulu, aku melihat orang India cuma di TV. Kini, orang India itu di depanku, muridku.
Nah, kepribadian muridku ini unik pula. Pendiam, pemalu, dan intonasi suaranya kurang jelas. Saat mengajar, aku harus memastikan berulang-ulang, apakah dia sudah mengerti atau belum. Di sinilah peranku mendidik. Harus membuat dia bertambah keterampilan dan pengetahuan dari kondisi sebelumnya.
Suatu hari, aku menyiapkan materi tentang benda-benda di sekitar. Satu lagi tips belajar Bahasa Inggris, mulailah dari benda-benda sekitar, akan lebih mudah dipahami dan diingat.
Aku mengunduh lalu mencetak beberapa gambar yang memiliki kemiripan fungsi/ penggunaan. Misalnya, ember, gayung, dan gelas adalah benda untuk menaruh air. Gunting, gergaji, dan pisau adalah alat untuk memotong benda. Dan beberapa gambar lainnya. Aku memotong gambar tiap benda.
Kumpulan gambar itu aku jajarkan di atas meja, lalu meminta muridku, Jane (disamarkan) mengamatinya. Dia setuju, semua benda itu pernah dia lihat dan tahu fungsinya. Aku meminta Jane memilih satu persatu gambar, lalu menyebutkan namanya dalam Bahasa Inggris.
Aku menerjemahkannya dalam Bahasa Indonesia, kutulis di drawing pad mainan, lalu meminta Jane menulis keterangan (melihat tulisanku) di bawah gambar. Kami mendiskusikan fungsi benda dalam gambar itu. Begitu seterusnya sampai semua gambar selesai dibahas.
Berikutnya, aku meminta Jane menempel gambar-gambar itu dikelompokkan menurut fungsi yang sama/ mirip. Di atas kelompok gambar itu, aku meminta Jane menulis keterangan, "Benda-benda ini berfungsi untuk..."
Selesai? Tidak.
Menyebutkan nama sudah. Menulis sudah. Mengelompokkan sudah. Tahap terakhir, presentasi.
Untuk presentasi pun, sama seperti anak SD mana pun, susah. Jane ini anaknya pemalu. Maka aku memberinya dorongan, "Kamu bisa!"
Dipegangnya lembar kerja. Perlahan, ada titik ragu, tapi ia berdiri juga. Rambutnya yang bergelombang terurai bebas, nyaman buat menutup wajah. "Rapikan rambutmu, baca perlahan, dan lihat ke arah Pak Kris."
Satu demi satu kata disebutkan Jane, sambil menunjuk gambar. Meski sering membiarkan rambutnya menutup muka, aku memintanya tetap melihat ke depan.
"You did it, Jane!", tutupku.
Dari awalnya yang menulis huruf demi huruf, Jane bisa mengucapkan kosakata dalam Bahasa Indonesia. Dari menulis, aku meminta membacakan tulisannya di depanku, sambil berdiri. Suatu kali, ia bisa menulis kosakata Bahasa Indonesia tanpa bantuanku. Keren!
Begitulah. Belajar bahasa lebih lancar jika didengar, ditulis, dan dilafalkan, berkali-kali. --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H