Selesai liburan akhir semester (Juni 2019), Kris dan Yanti melanjutkan perjuangan di tempat kerja masing-masing. Aku di Salatiga, Yanti di Jakarta.
Bulan November 2019, Yanti tugas dinas ke Kulonprogo, Jogja. Seperti biasa, di akhir pekan aku akan menjemput dan mengajaknya ke Salatiga. Meski hanya dua-tiga hari berjumpa, ini sangat berarti.
Yanti menginap di kos teman adiknya. Itu pun hanya bisa semalam. Pindah lagi ke kos adik yang lain. Waktu itu ada satu rumah bapak di pinggiran kota sedang dikontrakkan.
Waktu perjumpaan kami yang singkat kami manfaatkan sebaik-baiknya. Selain berjalan-jalan dan makan bersama, kami meluangkan waktu untuk PA membahas buku persiapan pranikah. Ini menjadi komitmen kami untuk menambah pengenalan pada pribadi masing-masing. Apalagi kami beda adat, Jawa dan Batak. LDR pula Jakarta-Salatiga.Â
Saat PA (Pendalaman Alkitab), kami mengusahakan mencari tempat yang bernuansa alam. Kalau bisa yang ada restonya. Kami pun memilih Kampoeng Kopi Banaran, Bawen. Di sini menyediakan makanan dan minuman, utamanya tentu saja kopi. Ada beberapa pendopo di belakang gedung restoran dengan pemandangan perkebunan yang dikelola PT PN.
Tempat ini cocok untuk makan dan wisata bersama keluarga. Apalagi bagi pecinta alam dan kopi. Bak makan di tengah kebun. Areanya luas. Harga menunya terjangkau. Ada beberapa wahana mainan untuk anak.
Sebulan kemudian, Desember, kami kembali bertemu. Kali ini akan lebih lama bersama, pas liburan Natal dan tahun baru.
Momen ini sekaligus menjadi reminder. Semasa kuliah, doa dan resolusiku menjelang pergantian tahun yakni punya sosok Pasangan Hidup. Tahun ini, Tuhan menjawab doaku dengan menghadirkan sosok penolong itu.
Aku menjemput Yanti ke Jakarta, sekalian jalan-jalan ke ibu kota. Aku mampir ke kantor Yanti, berkenalan dengan teman-teman kerjanya.
Kami bertemu kakak rohani, yang dulunya tinggal di Ungaran, kini pindah ke Jakarta. Banyak sharing dan nasihat yang kami terima dari mereka, khususnya terkait persiapan pernikahan. Kebetulan, mereka juga lintas-etnis Jawa dan Batak. Lebih dari itu, mereka hidup selalu berpegang pada firman Tuhan. Mereka salah satu teladan kami.
Aku dan Yanti berkunjung ke beberapa tempat wisata di Jakarta. Kota Tua jadi satu tempat yang unik buat dikunjungi. Meski sekedar lewat dan berfoto. Salah satu gedung tua di sini pernah dijadikan tempat shooting film Habibie dan Ainun. Keren.
Sebagai produsen minuman herbal, Yanti mengikuti perkembangannya. Di kawasan kota tua ini ada kafe yang unik, mirip kedai kopi. Acaraki, kedai jamu yang mengusung konsep kedai kopi. Ya, peralatan dan interiornya mirip kedai kopi, tapi yang diolah adalah bahan herbal (jamu).Â
Kafe ini keren dan merupakan inovasi yang menarik. Generasi milenial sering nongkrong di kafe kopi, tapi nampak anti dengan kata jamu atau herbal. Acaraki mengolah bahan herbal dengan cara mirip mengolah kopi. Harapannya bisa menggerus ketakutan anak muda pada jamu.Â
Kami pesan dua minuman, salah satunya beras kencur. Rasanya? Enak. (Tapi lebih enak buatan pacarku lah!) At least, bisa diterima lidah anak muda. Anak muda harus melestarikan tradisi bangsa, salah satunya minum jamu. Jika tidak, dikhawatirkan minuman tersohor sejak zaman kolonial Belanda ini akan punah, atau direbut negara lain.
Sekitar dua hari di Jakarta, kami segera meluncur ke Salatiga naik kereta. Ini juga kali pertama aku naik kereta bareng pacar. Sebelumnya aku hanya mengantar Yanti ke stasiun--saksi perjumpaan dan perpisahan dalam kisah LDR kami.
Aku mengajak Yanti main ke rumah, berkenalan dengan Bapak, Ibu dan adikku. Akhirnya, bisa mengenalkan calon mantu pada orang tua, hehe. Kami juga sempat Natalan bareng di Gereja Kristen Jawa, ibadahnya memakai Bahasa Jawa. Di sini, Yanti agak roaming, meski dia sudah tahu kosakata umum.
Liburan kali ini, kami punya misi yakni mengunjungi rekan produsen gula kelapa di Kulonprogo, Jogja. Ibu ini selibat, tinggal sendirian dan sudah tua. Setidaknya kami mengingat dan mengunjunginya atas kebaikannya pada kami saat Yanti dinas di sana.
Kami mengambil jalur Kopeng, melewati hutan pinus dan perkebunan sayur. Pemandangan alam ini lebih menyegarkan mata si naturalis.
Di tengah perjalanan, kami sempatkan berfoto beberapa spot yang kami anggap menarik. Di pinggir jalan dan tepian sawah misalnya. Pas, pakaian kami senada biru-cokelat, padahal tidak janjian.
Perjalanan Salatiga-Kulonprogo perlu setidaknya tiga jam naik motor. Berhenti untuk foto-foto tambah 30 menit lah. Kami menikmati perjalanan ini. Kelak akan jadi kenangan, meski LDR ada kesempatan jalan-jalan ke luar kota.
Tiba di rumah Bu Piah (rekan produsen gula kelapa), kami tak langsung masuk. Halaman rumahnya luas, khas pedesaan. Ada sisi depan rumah yang berdinding kayu jati. Unik, dan antik. Tak ingin melewatkan, kami pun berfoto latihan untuk prewed, hehe. HP disandarkan di tas yang ditaruh di atas motor.
Kami segera memberi salam pada Bu Piah, membongkar muatan dan membagikan sedikit oleh-oleh. Meski kunjungan singkat, semoga kehadiran kami bisa sedikit mewarnai hari-hari Bu Piah. --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H