Kisah kedua dialami teman Gareng, namanya Petruk. Petruk adalah guru di sebuah Sekolah Dasar, ia mengajar kelas 6. Mayoritas muridnya sudah diberi HP pribadi oleh orangtua. Salah satu pendorongnya yakni karena pandemi Covid-19 di mana anak harus mengikuti PJJ/ belajar dari rumah. HP menjadi kebutuhan wajib untuk pembelajaran.
Ternyata, murid-muridnya kebablasan memakai HP. Mereka membuat grup WA yang anggotanya hampir satu kelas. Yang jadi masalah, isi chat di grup itu membahas kosa kata tidak sopan, yakni pesan, gambar, GIF, stiker hingga link video untuk orang dewasa. Anak SD ini loh! Petruk sampai prihatin mendalam dibuatnya.
Dalam pelajaran IPA kelas 6 sudah mendapat materi tentang organ reproduksi. Tapi mereka menyalahgunakan kosa kata dalam reproduksi itu untuk mengejek dan saling menghina temannya. Ini sudah masuk kategori kekerasan seksual secara verbal.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Kan memang sudah zamannya internet, akses pada semua jenis konten bisa menerpa anak-anak. Tapi, anak tidak akan kejauhan apalagi sampai membuat grup dan saling berkirim pesan secara masif kalau tidak diberi HP pribadi. Betul?
Kembali ke anakku. Jangankan anak SD, anakku yang baru dua tahun sudah tahu meminta HP, merengek jika tidak diberi. Ia juga sudah tahu di mana halaman pada HP, di mana folder yang berisi aplikasi Youtube. Jika satu konten sudah selesai, konten berikutnya tidak sesuai selera, ia bisa swipe up untuk mengganti konten lain yang ia mau.
Canggih kan?
Itu pun masih dalam pengawasan kami. Anda bisa bayangkan kalau anak-anak dipercayakan HP pribadi sejak dini. Kejadian seperti murid-murid Petruk bisa saja terjadi, bahkan bisa lebih parah.
Banyak orangtua yang bapak ibunya sibuk bekerja, lalu mempercayakan anak pada Mbah atau pembantu. Lalu supaya tidak rewel diberi HP untuk menonton kartun anak-anak di Youtube. (Aslinya Youtube adalah belantara konten yang disisipkan muatan kekerasan dan paham LGBT.) Saat di restoran atau tempat makan supaya tidak banyak tingkah, biarkan menonton atau bermain HP. (Ingat anakku yang jika dipanggil menoleh pun tidak saat menonton?)
Orangtua pemilik otoritas
Sebelum tujuh belas tahun, anak masih bergantung penuh pada orangtua, temasuk tentang HP. Orangtua yang membelikan HP dan mengisi paket data atau membayar tagihan wifi.