Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Stunting Mustahil Dipecahkan Jika Anggaran Terus "Digunting"

9 Desember 2023   23:37 Diperbarui: 9 Desember 2023   23:55 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemberian makanan untuk mencegah stunting | foto: KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Indonesia adalah negara yang kaya budaya, Sumber Daya Manusia (SDM) hingga Sumber Daya Alam (SDA). Tapi masalah stunting masih menghantui masyarakat.

Stunting diartikan kondisi gagal tumbuh yang terjadi pada balita. Penyebab utamanya yakni kekurangan gizi kronis, sehingga badan anak terlalu pendek menurut usianya. Kekurangan gizi ini dapat terjadi sejak bayi masih dalam kandungan hingga masa awal setelah lahir. Namun, status stunting baru terdeteksi ketika anak berusia dua tahun.

Fasilitator Kemensos Mujiastuti berujar, dampak jangka panjang dari stunting adalah risiko terkena penyakit degeneratif hingga gangguan perkembangan kognitif, sehingga bisa berimbas pada penurunan ekonomi suatu bangsa di masa depan.

Menurut data UNICEF, WHO dan World Bank tahun 2021, perkiraan angka prevalensi stunting di Indonesia adalah 31,8% pada 2020. Angka ini merupakan kasus tinggi (high), sedangkan menurut WHO kasus rendah adalah kurang dari 20%.

Di Indonesia, angka prevalensi pada 2020 ini sudah menurun, sebab pada 2021 sebesar 24,4%, pada 2019 sebesar 27,7%. Meski begitu, nilai ini masih di atas beberapa negara tetangga seperti Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailannd (16%), dan Singapura (4%).

Stunting sendiri disebabkan faktor multidimensi utamanya akibat gizi buruk yang dialami ibu hamil maupun balita. Selain gizi buruk, lingkungan tempat balita dibesarkan pada 1000 hari pertama kehidupan (HPK) menjadi faktor penentu seorang balita terkena stunting atau tidak.

Selain gizi buruk, ada empat faktor penyebab stunting. Pertama, praktik pengasuhan kurang baik. Kedua, terbatasnya layanan kesehatan selama masa kehamilan ibu. Ketiga, kurangnya akses keluarga pada makanan bergizi. Keempat, terbatasnya akses pada air bersih dan sanitasi.

Praktik pengasuhan yang kurang baik disebabkan kurangnya pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi sebelum kehamilan dan proses kehamilan hingga melahirkan. Merujuk data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada 2017, 60% anak usia 0-6 bulan tidak mendapat ASI.

Selain itu, 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima makanan pendamping ASI yang mestinya diberikan sejak 6 bulan. Tak hanya untuk mengenalkan jenis makanan baru pada balita, pemberian MP-ASI sejak usia 6 bulan juga dapat memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang sudah tidak mendapat ASI.

Terkait faktor kedua, saat ini masih terbatas layanan kesehatan pada ibu hamil dan pembelajaran mandiri untuk mendampingi masa kehamilan hingga melahirkan. Di level desa, Posyandu harusnya menjadi jawaban atas masalah ini. Sayang, PPID Kemenkes 2020 mencatat hanya 51% kabupaten/kota di Indonesia yang aktif melakukan Posyandu.

Tidak semua anak dari keluarga prasejahtera mengalami kekurangan gizi, tapi keterbatasan akses terhadap informasi berkualitas dan lemahnya wawasan terkait pencegahan stunting membuat anak-anak berpotensi mengalami stunting.

Misalnya, ada budaya di Indonesia yang mengutamakan suami/ anak laki-laki mengonsumsi makanan bergizi dibanding ibu hamil atau anak perempuan. Ada juga tradisi pemberian pisang di bawah enam bulan agar kenyang dan tidak rewel. Padahal, di usia itu asupan gizi terbaik bagi bayi adalah ASI eksklusif.

Faktor ketiga, mahalnya harga makanan bergizi. Buah dan sayuran termasuk makanan mahal yang susah diakses masyarakat, padahal kita negara agraris. Itu belum termasuk daerah yang geografisnya susah diakses. Akibatnya, 1 dari 3 ibu hamil mengalami anemia.

Atas kondisi ini, pemerintah berupaya melakukan intervensi. Kerangka intervensi pemerintah dibagi menjadi Intervensi Gizi Spesifik—ditujukan pada balita dalam 1000 HPK dan Intervensi Gizi Sensitif—meliputi pembangunan di luar sektor kesehatan.

Terdapat 12 kegiatan yang termasuk dalam intervensi gizi sensitif, yaitu:
1. Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih.
2. Menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi.
3. Melakukan fortifikasi bahan pangan.
4. Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB).
5. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
6. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal).
7. Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua.
8. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal.
9. Memberikan pendidikan gizi masyarakat.
10. Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi pada remaja.
11. Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin.
12. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.

Sebagus apa pun program pemerintah di atas, menjadi sia-sia jika di lingkup pemda anggarannya 'digunting' (disunat) sampai sisa ‘remahan’. Seperti terjadi beberapa waktu lalu di Kota Depok. (Kompas, 16/11/2023) Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk penanganan stunting hanya berupa nasi, kuah sop, tahu, dan sawi. Ironis.

Menu makanan pencegah stunting di Kota Depok | foto: IG/@depok24jam
Menu makanan pencegah stunting di Kota Depok | foto: IG/@depok24jam

Menu hemat ini diberikan pada anak-anak dalam wadah bening dengan tutup warna-warni bergambar Wali Kota Depok Mohammad Idris dan wakilnya Imam Budi Hartono. Tak punya malu.

Keluhan senada dialami seorang ibu hamil yang hanya mendapat tiga potong nugget setelah mengantri berjam-jam demi menu PMT. Menu itu sudah biasa ia berikan untuk anaknya.

Menu ini tak manusiawi. Anggaran Pemkot Depok untuk pencegahan stunting hampir Rp4,4 miliar. Alokasinya Rp18.000/ orang (masa program 28 hari), minimal dapat menu seperti telur dan susu, syukur ikan atau daging. Menurut Ikravany, anggota Komisi D DPRD Kota Depok, Pemkot Depok dinilai asal memberi makanan pencegah stunting.

Kepala Dinkes Kota Depok Mary Liziawati menyebut, anggaran Rp18.000 itu termasuk untuk kemasan, transportasi, hingga biaya admin aplikasi. Katanya, menu tahu itu sudah dicampur daging ikan dan ayam, bukan tahu bulat. Lalu wadahnya bisa dipakai berulang kali, harganya lebih mahal. Ini mau memberi makanan apa wadah?

Kalau dianggarkan Rp18.000 ya dibelanjakan untuk makanan, bukan dipotong untuk lain-lain. Ini mencurangi masyarakat namanya. Kalau digunting terus, bagaimana masalah stunting mau tuntas?

Pemkot Depok kembali memberikan PMT (Senin, 27/11/2023) setelah ditiadakan selama tiga hari (24-26 November 2023). Nah loh, anggaran tiga hari itu ke mana?

Kali ini menunya tujuh dimsum ayam dalam toples bening. Penghentian sementara ini terjadi setelah menuai banyak kritik. Kadinkes Mary Liziawati berujar, PMT dihentikan sementara untuk dievaluasi. Setelah dievaluasi, menunya tak kalah ‘bergizi’, yakni dimsum 7 potong.

Itu kejadian di Depok. Jika stunting masih jadi masalah nasional, kemungkinan di daerah lain ada kasus serupa. –KRAISWAN 

Referensi: 1, 2, 3, 4

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun