Kenapa "kedua"? Sebab, waktu terbaik untuk menanam adalah sepuluh tahun lalu.
***
Pohon sebagai komponen ekosistem menjadi pilar kehidupan makhluk hidup lainnya. Namun, seiring perkembangan zaman dan teknologi, keberadaan pohon makin berkurang.
Alam dieksploitasi, pohon ditebangi. Praktis, kehidupan makhluk hidup lain pun terancam.
Sejak SMP, aku sudah suka menanam. Pohon cabe, minimal. Waktu itu belum begitu PD. Belum punya uang buat beli bibit. Pikiran anak-anak juga inginnya cuma bermain.
Dengan menanam pohon, manfaat langsung bisa dipetik. Jika pohon buah, ya panen buah. Pohon sayur, ya panen sayur. Pohon kayu, ya panen kayu.
Meneduhkan lingkungan, menyerap karbon, menyerap air di musim hujan; adalah manfaat lain yang praktis dipetik dengan menanam pohon.
Kita tak harus menunggu sampai tersisa satu-satunya pohon di bumi baru sadar untuk menanam.
Berangkat dari pengalaman jualan duren bareng istri beberapa bulan ini, kami bertekad untuk menanam pohon buah.
Namun, tekad saja tak cukup. Ada banyak kendala harus dikalahkan. Mesti atur strategi begitu hingga agar tekad itu mewujud jadi tindakan.
Pertama, keterbatasan lahan. Sejatinya, bapakku punya beberapa lahan berupa kebun. Warisan. Kebanyakan diisi pohon kayu yang besar-besar.Â
Prinsip bapakku, kalau belum sangat tua dan besar dan ditawar dengan harga tinggi dia takkan menjualnya. Kalau lahannya masih penuh pohon besar, bagaimana mau menanam pohon buah?
Kenapa tidak dijual? Bukan prinsip bapakku menjual warisan dan komponen di dalamnya.
Logikanya, kalau sebuah pohon sudah besar bisa dijual untuk kebutuhan atau uangnya ditabung. Tanam lagi, nanti tumbuh jadi besar lagi. Tapi bapakku memang beda.
Kendala kedua, ketersediaan dana. Berbeda dengan bapakku yang menanam buah dari biji--belasan tahun kemudian baru berbuah. Aku ingin menanam dari bibit cangkokan. Di tempat penjual bibit, harganya terjangkau--kalau ada anggarannya.
Sedang untuk kebutuhan bulanan masih sering ngepas. Namun, semua berubah saat musim hujan datang...
Anak kami adalah berkat bagi kami, orangtuanya. Sejak dalam kandungan, kami doakan ia juga menjadi berkat bagi sesama. Ternyata, anak kami sering mendapat berkat, entah pakaian, mainan, sampai uang.
Uang pemberian itu kami tabungkan. Itu hak anak kami. Kami keidean memakai sedikit tabungan anak untuk membeli bibit buah. Secara teknis, pohon itu milik anak kami nantinya. Mengajar anak menanam sejak dini.
Menanam sepuluh tahun lalu, panennya baru sekarang
Aku mengalami sendiri, bahwa tindakanku di masa lalu berdampak bagi masa kini. Kira-kira saat SMP (berarti sekitar sepuluh tahun), aku menanam bibit alpukat dari biji. Bijinya seberapa berkualitas, pohonnya bagus atau tidak, cukup nutrisi atau tidak; aku tak peduli. Pokoknya aku tanam saja.
Saat masa kuliah, pohon itu berbuah juga. Meski tak lebat, rasanya manis, gurih, dan lezat. Tiap tahun alpukat itu rutin berbuah. Saat menikah dan punya anak, istri dan anakku bisa makan alpukat itu.
Menunggu sepuluh tahun amat lama rasanya. Tapi hasilnya sepadan jika sejak sepuluh tahun lalu mulai menanam.
Kapan lalu aku dan istri mengajak anak belanja bibit pohon buah. Kami putuskan beli bibit pohon mangga, alpukat, dan tentu saja duren.
Saat beli bibit, anak kami berusia dua tahun. Bibit cangkokan bisa berbuah kira-kira 5 tahun (2x lebih cepat dari biji). Maka, saat anak kami masuk SD, harusnya ia bisa mengecap buahnya. Keren.
Kerinduan kami ingin membuat kebun buah di kebunnya Mbah. Kalau terlalu muluk, setidaknya bisa panen buah untuk dimakan sendiri.
Lebih dari itu, kebiasaan menanam pohon sebagai wujud kepedulian pada kelestarian alam perlu ditanamkan pada anak sejak dini. Apalagi di era TikTok, di mana anak makin apatis, tidak peka, dan rapuh saat menghadapi tantangan.
Harusnya kecintaan anak pada alam dan lingkungan membentuknya jadi pribadi lebih kuat, adaptif dan peduli.
Anak adalah peniru andal. Apa yang kami ucapkan dan lakukan, ia bisa langsung tiru dan lakukan berulang.
Biarkan anak meniru kebiasaan baik kami. Menanam pohon sejak dini. --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H