Namun, tekad saja tak cukup. Ada banyak kendala harus dikalahkan. Mesti atur strategi begitu hingga agar tekad itu mewujud jadi tindakan.
Pertama, keterbatasan lahan. Sejatinya, bapakku punya beberapa lahan berupa kebun. Warisan. Kebanyakan diisi pohon kayu yang besar-besar.Â
Prinsip bapakku, kalau belum sangat tua dan besar dan ditawar dengan harga tinggi dia takkan menjualnya. Kalau lahannya masih penuh pohon besar, bagaimana mau menanam pohon buah?
Kenapa tidak dijual? Bukan prinsip bapakku menjual warisan dan komponen di dalamnya.
Logikanya, kalau sebuah pohon sudah besar bisa dijual untuk kebutuhan atau uangnya ditabung. Tanam lagi, nanti tumbuh jadi besar lagi. Tapi bapakku memang beda.
Kendala kedua, ketersediaan dana. Berbeda dengan bapakku yang menanam buah dari biji--belasan tahun kemudian baru berbuah. Aku ingin menanam dari bibit cangkokan. Di tempat penjual bibit, harganya terjangkau--kalau ada anggarannya.
Sedang untuk kebutuhan bulanan masih sering ngepas. Namun, semua berubah saat musim hujan datang...
Anak kami adalah berkat bagi kami, orangtuanya. Sejak dalam kandungan, kami doakan ia juga menjadi berkat bagi sesama. Ternyata, anak kami sering mendapat berkat, entah pakaian, mainan, sampai uang.
Uang pemberian itu kami tabungkan. Itu hak anak kami. Kami keidean memakai sedikit tabungan anak untuk membeli bibit buah. Secara teknis, pohon itu milik anak kami nantinya. Mengajar anak menanam sejak dini.
Menanam sepuluh tahun lalu, panennya baru sekarang