Minggu pagi, di kampung halaman Yanti. Sebelum ke gereja, kami sempatkan menikmati minuman hangat di teras bersama bapak. Gereja hanya berjarak 2 menit dari rumah Yanti.
Seperti gereja di kampung pada umumnya, di kampung Yanti prosesi ibadahnya sederhana. Petugas memberi salam, mengajak menyanyikan lagu, membaca Alkitab, lalu penyampaian firman Tuhan oleh pengkhotbah. Semuanya diucapkan dalam Bahasa Batak. Meksi susah, aku berusaha memahami apa yang disampaikan.
Di tengah jalannya ibadah, Bapak sekeluarga memberikan persembahan pujian. Aku? cukup mendokumentasikan dalam foto maupun video. Omong-omong, bapak punya talenta pita suara yang merdu, sehingga beliau hobi bernyanyi.
Anak-anak Sekolah Minggu tak mau kalah. Mereka, kebanyakan usia SD, dengan kompak dan percaya diri, akapela, tanpa iringan alat musik. Dan Anda tahu, Orang Batak biasanya jago bernyanyi. Judika, Lyodra, Sammy---adalah Orang Batak.
Waktu itu datang vikar (calon pendeta) Desmen dan Roles yang merupakan teman adik Yanti. Desmen diberi kesempatan bapak untuk berkhotbah. Desmen ini saat magang di kampung tinggalnya di rumah bapak. Jadi sudah dianggap seperti anak sendiri.
Selesai ibadah, dengan masih berpakaian rapi, kami berfoto bersama bapak-mama. Buat kenang-kenangan dong. Kelak akan diingat, aku pernah datang ke rumah Yanti saat masih menjadi pacarnya.
Esoknya aku dan Yanti akan kembali ke Jawa. Tak terasa seminggu lebih aku tinggal di kampung Yanti. Senang rasanya, turut merasakan atmosfer masa kecil Yanti dibesarkan sekaligus belajar budaya Orang Batak. Tapi, lama-lama dompet kering juga, hehe.
Secara dadakan, kami dan adik-adik meluncur ke daerah Pelabuhan Tigaras untuk bermain wisata air. Waktu menunjukkan jam 4 lebih. Dengan bantuan teman Yanti yang rumahnya dekat pelabuhan, kami direkomendasikan mencoba wisata air, yakni banana boat.
Jam 17.00 kami baru mulai bermain air. Ingat, ini di Medan. Jam 18.00 pun masih terang. Jujur, aku adalah kaum manusia takut air. Tak bisa berenang. Entah kenapa, demi bisa bermain dengan Yanti dan adik-adik, untuk sesaat aku lupa rasa takut itu.
Kaos dan celana kolor telah dikenakan. Pelampung badan sudah terpasang dengan aman. Mesin kapal cepat sudah menyala. Kami siap mengarungi tepian Danau Toba. Nahkodanya adalah temannya teman Yanti, lebih gampang negosiasinya.
Ditariknya 'kapal pisang' yang kami tumpangi melaju di tepian danau. Sampai jauh dari daratan rasanya. Tiba-tiba, sang nahkoda mengurangi kecepatan, gesit memutar setir, lalu ditarik gas sejadi-jadinya.
Byurrr!!! Kapal pisang terbalik. Penumpangnya kocar-kacir! Air Danau Toba memaksa mengisi mulutku! Kepalaku sedikit pening. Cemas, takut, tapi seru! Bak para pemuda yang bersatu dalam Kongres Pemuda, kami saling bahu-membahu untuk kembali menaiki kapal pisang. Sensasinya itu lho, asyik!
Kapal kembali ditarik dengan kecepatan tinggi, kembali ke arah pelabuhan. Beberapa meter sebelum tiba, sang nahkoda mengulangi ritualnya. Kurang kecepatan, putar setir, tarik gas. Byurr! Penumpang kembali kocar-kacir. Woo hoo! Mendebarkan tapi seru!
Tur tepi danau selesai. Pelampung telah dilepas dari badan kami. Namun kami masih asyik bermain air. Yanti dan adik-adik asyik berenang, aku cukup mengapung di atas air, haha. Kami sempatkan berfoto di sebuah beton yang menopang menara kecil di pinggir danau.
Sore menjelang petang. Hawanya dingin setelah bermain di air. Kami pun membeli makanan hangat di warung sekitar. Mi instan dalam gelas cocok juga nih.
Begitulah, belum ke Medan kalau belum menikmati keindahan dan kesegaran Danau Toba. Kiranya Danau Toba pula menjadi saksi kisah cinta dan perjuanganku, dari Jawa ke Sumatra. --KRAISWANÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI