Kata ibuku, hutang adalah candu. Sekali berhutang, bakal berhutang lagi, dan lagi. Iya kalau bisa mengembalikan, kalau tidak?
Berbeda halnya terhadap bank atau pinjol, berhutang kepada teman tidak begitu menegangkan. Tidak ada perampasan barang, tidak ada teror, bahkan orang yang memberi pinjaman kadang sungkan untuk menagih, jadinya lupa deh.
Lebih parah, kalau orang yang meminjamkan hendak menagih, meski sudah meminta dengan halus, malah direspons dengan galak dan kasar. Seolah-olah dia yang dizalimi, padahal dia yang meminjam.
Sudah lulus, masih hutang juga
Hidup bermahasiswa adalah seni dan penuh kenangan. Hidup serba terbatas, apalagi kalau harus ngekos, jauh dari orang tua. Kehidupan bergantung senuhnya dari kiriman orang tua.
Meski tak jarang, beberapa mahasiswa mau mengambil kerja part time sekedar untuk menambah uang saku atau mencari pengalaman. Aku salah satunya. Gaji tidak seberapa, kerjanya sampai malam, badan capek, tidak bisa nongkrong dengan teman-teman, boro-boro pacaran.
Tapi kerja part time itu membentuk mentalitasku untuk tidak mudah menyerah dan lebih bijaksana memakai waktu, tenaga, uang dan segenap sumber daya yang Tuhan percayakan.
Tapi apa jadinya kalau sudah lulus kuliah, tapi masih berhutang juga pada teman?
Aku pernah punya pengalaman dengan teman kuliah. Meski sudah lulus dan berkarya di tempat masing-masing, kami masih saling berkabar. Sesekali reuni kalau ada kesempatan.
Yang tidak lupa dari komunikasi itu adalah "Pinjam dulu seratus." Seringnya temanku yang hendak meminjam uang padaku. Sekali dua, kalau aku pas punya dan jelas hutangnya untuk apa, aku akan usahakan.
Aku minta kejelasan dari temanku, kapan akan dikembalikan. Bukan apa-apa, kalau bilangnya pinjam, ya harus dikembalikan dong.