Kela ini punya empat anak, dua diantaranya laki-laki. Konon, anaknya kela ini yang jadi pariban Yanti. Tapi Tuhan punya kehendak lain. Bukan paribannya, melainkan lelaki culun dari Jawa yang justru akan menjadi suami Yanti.
Menjelang kedatangan Kris ke kampung Yanti, ia berseloroh pada bou. "Biar tidak jadi menantumu, kuberi kau satu anak lelaki ya bou." Apa maksudnya? Apakah anaknya Yanti nanti akan diangkat jadi anaknya bou...?
Begini, menurut adat Batak, jika seorang pria berasal dari luar etnis Batak harus membeli marga sebelum meminang gadis Batak. Harganya? Jutaan!
Jangankan membeli marga, Kris menabung untuk pernikahan saja sudah engap. Itu pun harus menabung berdua dengan Yanti.
Tapi Kris mendapat anugerah dari Tuhan. Alih-alih membeli, Kris diberi marga. WOW!
Ceritanya, Yanti sudah bernegosiasi sedemikian rupa supaya Kris diangkat jadi anaknya kela. (Itu sebab, nama profilku ada marga Sumbayak---cabangnya Saragih)
Kris akan menjadi anaknya kela, Yanti menikah dengan Kris. Secara adat, Yanti menikah dengan paribannya juga. Pariban dari Jawa.
Waktunya makan siang. Bapak-mama telah membawa ikan mujair dari rumah. Di belakang, ibu-ibu sudah mengolahnya sedemikian menjadi ikan bakar yang siap dihajar dengan sambal dan nasi hangat. Meski sederhana, begitu hangat suasana di keluarga ini.
Setelah kenyang, kela (kelak akan menjadi bapakku) pamit karena ada acara keluarga di Samosir. Kela mengajakku serta, sekedar basa-basi. Sedang kami masih tinggal untuk lanjut mengobrol. Suatu saat aku harus menginjakkan kaki ke Samosir juga!Â
Aku dan Yanti sempat diajak si bungsu dari Tua Agus ke ladang dan pusara kerabat yang sudah meninggal. Makam orang Batak bukan di pemakaman umum seperti layaknya di Jawa, tapi di ladang pribadi.
Begitu kembali ke rumah, hari sudah gelap. Hujan mengguyur cukup lebat hingga malam. Mati listrik pula. Dengan sigap Tua Agus mengeluarkan wajan bekas yang diisi kayu bakar. Masih ada sisa abu di wajan. Wajan ini berfungsi sebagai perapian untuk menghangatkan ruangan.