Seluruh keluarga korban tentu berduka atas insiden ini. Apalagi ada salah satu korban yang hendak menikah. Meski berduka, kurang lebih setahun kemudian, salah satu jalur penyeberangan utama ke Pulau Samosir ini kembali ramai. Tentunya dengan ketentuan yang lebih ketat, tidak boleh melebihi muatan.
Aku dan Yanti berfoto di tepian Danau Toba. Akhirnya, bisa sedekat ini dengan danau legendaris di Indonesia! Kami juga menengok tugu peringatan Kapal Motor Sinar Bangun. Biarlah tugu ini menjadi peringatan bagi semua, supaya mengutamakan keselamatan di atas keuntungan atau materi.
Hari itu kami memang belum menjadwalkan menyeberang ke Samosir. Nanti diatur jadwalnya supaya bisa jalan-jalan bareng bapak-mama dan adik-adik.
Meski menjadi pelabuhan yang ramai, belum banyak penjual kuliner yang khas. Kebanyakan justru gorengan atau mi instan dalam cup. Wah, ada penjual sate padang. Kami pun membeli satu porsi. Lucunya, alih-alih makan di tempat, kami membungkusnya. Dalam perjalanan pulang kami mampir di sebuah warung yang tutup, dan makan satenya di situ.
Jujur, baru kali ini aku mencicip sate padang, pas datang ke Sumatra pula. Sate ayam dan lontong yang lembut disiram sambal kuning yang kaya rempah. Enak!
Di dekat warung ini terdapat sebuah tugu, namanya Tugu Perjuangan Rakyat Rakyat Tigaras. Direpresentasikan seorang pahlawan menaiki kuda putih, dengan tangan kanan memegang bambu runcing yang diikat dengan bendera. Menggambarkan semangat perjuangan melawan penjajah.
Tugu ini berada di ketinggian, di tepian jurang. Menjadi spot sempurna untuk melihat keindahan Danau Toba. Hampir seluruh bagian Danau dapat dilihat dari tempat ini. Anginnya berhembus kencang, sehingga kita harus berhati-hati jika hendak berfoto. Terdapat kawat berduri sebagai pembatas tugu dengan tepian jurang.
Kedatanganku ke rumah Yanti ini juga menjadi perjuangan kami menuju jenjang pernikahan. Perjuangan melawan hambatan, ribetnya adat Batak serta mempertahankan kekudusan pernikahan. --KRAISWAN