Lagi, aku masih belum percaya. Seorang anak kampung yang disuruh berbicara di depan kelas saja seperti mau kencing rasanya. Kini, menginjak tanah Sumatra, hendak menikahi gadis Batak. Terima kasih untuk kesempatan ini, Tuhan.
Tulang mengajak kami makan siang di salah watu warung Babi Panggang Karo (BPK) di Jl. Sisingamangaraja Labuboti. Wah, dapat kesempatan juga merasakan masakan di tempat asalnya! Rasanya? ENAK.
Jalanan di Sumatra Utara (secara umum di Pulau Sumatra juga) ini masih sempit dan banyak berlubang. Padahal dilalui banyak truk dan bis lintas provinsi. Danau Toba yang ditetapkan sebagai destinasi wisata prioritas oleh Presiden Jokowi tidak otomatis membuat infrastrukturnya menjadi bagus.
Berbeda dengan di Jawa, rumah-rumah di Sumatra Utara dibangun dengan arsitektur yang unik. Salah satunya yakni atap rumah Gadang yang mirip perahu. Makam orang Batak juga berbeda dengan orang Jawa yakni di tempat pemakaman umum. Mereka menguburkan jenazah nenek moyang di dekat rumah atau ladangnya. Sebab, ladang orang Batak masih sangat luas.
Atap makamnya juga berbentuk seperti perahu. Orang Batak meyakini, meski sudah meninggal roh nenek moyang masih dekat bersama mereka. Maka, makamnya juga dibuat seperti rumah. Didesain khusus, dicat dan dirawat. Mungkin ini sebab, tidak ada kesan seram melihat makam orang Batak.
Kami tiba di rumah orang tua Yanti sekitar pukul 19.00 WIB. Aku segera berkenalan dengan si bungsu yang lalu membantu kami mengangkat barang-barang. Lalu bersalaman dengan mama dan adik Yanti nomor dua. Bapak masih belum pulang dari ladang.
Begini rasanya pulang kampung dari merantau. Senang bisa kembali berjumpa dengan keluarga dalam keadaan sehat. Saling mengobrol, berbagi kabar dan bercerita. Tulang Tesa dan keluarga menginap di rumah.