Jawa Tengah merupakan provinsi yang menjunjung keberagaman dengan toleransi. Selain itu, terdapat beberapa tempat wisata yang sayang untuk dilewatkan.
Kapan lalu aku mengulas Gunung Andong, di daerah Magelang. Kali ini aku akan mengupas air terjun Curug Lawe, di Ungaran. Keduanya terjangkau secara jarak dari Salatiga, domisili kami. Langit biru menjadi pemandangan wajib menuju kedua tempat ini.
Bulan Agustus kami disibukkan beberapa kegiatan. Istri menjadi pembicara buat mahasiswa, renovasi rumah dan kepanitiaan tujuhbelasan lingkup RT. Setelah Agustusan ini istriku tepar tiga hari, anak kami batuk pilek, disusul beberapa tetangga yang sakit. Ini yang cukup merepotkan dan menguras tenaga.
Hari Sabtu aku libur. Biasanya sudah ada agenda, entahkah bersama adik-adik mahasiswa, mengerjakan usaha sampingan, atau beberes rumah. Minggu ini kami longgar.
Suatu Kamis siang di jam aku jeda mengajar, tetiba istri mengirim pesan WA ingin ke Curug Lawe. Wah, sudah ada yang kangen menikmati alam ini.
Kamis malam itu kami mulai beberes. Jumat petang kami ke rumah orang tua (kampung asalku), berjarak 15 menit dari tempat tinggal kami. Kami akan menitipkan anak bayi di tempat Mbah dan rencananya akan berangkat pagi-pagi.
Kali ini, kami ingin pergi berdua. Pertama, ingin menikmati waktu dengan pasangan. Kedua, ingin mengecek perkembangan medan.
Dari rumah Mbah ke lokasi air terjun perlu kurang lebih 75 menit naik motor. Istri sudah menyiapkan bekal kami. Pakaian ganti, wedang jahe, dan snack. Di bawah air terjun bakal terhempas percikan air tejun dan akan menjadi dingin. Di sinilah peran wedang jahe.
Bagi istriku, ini sudah yang ke tujuh kali ia ke curug Lawe dan Benowo. (Keduanya berdekatan) Bagiku, ini yang ketiga kali. Dua kali sebelumnya yakni saat pacaran dan prewed. Sehingga perjalanan ini menjadi semacam mengenang kisah.
Ada alasan mengapa kami memilih air terjun Curug Lawe. Pertama, kami pecinta alam. Air terjun berada di urutan teratas. Kedua, jarak lokasinya relatif dekat. Jarak tempuh dari tempat parkir ke air terjun juga dekat. Ketiga, menyegarkan karena kontak dengan air. Keempat, mengenang kisah itu tadi.
Kami tiba di tempat parkir sekitar pukul 10.00 WIB. Selepas dari jalan raya Salatiga-Ungaran lalu lintas normal, tidak banyak kendaraan lewat. Siapa sangka, di tempat parkir sudah penuh motor dan mobil. Parkiran motor yang beratap biasanya longgar pun tidak sanggup menampung motor pengunjung.
Harga tiketnya Rp8.000/orang (Murah kan? Banget!), parkirnya Rp3.000/motor. Jika Anda berniat berkunjung ke sini, jangan khawatir dan tidak usah membawa banyak bekal. Sebab tersedia beberapa warung yang menjamin logistik Anda. Tersedia mi instan, gorengan, dan beragam minuman.
Istriku sempat mendumal, kenapa ramai sekali? Dulu saat kami prewed (3 tahun lalu) tidak seramai ini. Ya iyalah, seiring zaman tempat wisata alam pasti banyak dikunjungi orang. Apalagi sudah lewat pandemi Covid-19 dan efek media sosial.
Kami tahu trek ke air terjun ini ringan, jadi tidak ribet dengan barang bawaan. Istriku memakai topi, kaos, celana panjang, sweater dan sendal jepit (bolang sejati). Sedangkan aku topi, kaos, celana pendek kantong samping dan sendal naik gunung.
Dari parkiran, kami harus berjalan kurang lebih 700 meter melewati kebun cengkih menuju ke jalur treking. Betapa damai hati dan pikiran, melihat aliran air yang jernih, muka langit yang biru, dan mendengar kicauan burung nan merdu.
Keberagaman hayati di Curug Lawe-Benowo tak perlu diragukan. Pepohonan purba yang menjulang tinggi memberi sensasi seperti di film-film petualangan. Kicauan burung hendak menyampaikan pesan nikmatnya hidup di alam bebas. Untuk sesaat, kami diajak kabur dari kepenatan dan beban pikiran.
Selain itu di beberapa titik ada spot unik untuk berfoto. Di antaranya akar pohon "O" dan jembatan merah. Di jembatan ini kami juga pernah melakukan prewed.
Kami memutuskan untuk mengunjungi Curug Lawe saja agar lebih puas dan tidak terburu-buru. Di tengah perjalanan, jalurnya ditutup dengan ranting-ranting kayu. Jalurnya dibelokkan ke bawah agak memutar. Kami harus menuruni dan menaiki jalan berundak dari ban bekas diisi tanah.
Dinamika seperti ini yang kami harus pastikan sebelum mengajak anak bayi. Perlu kesiapan tenaga, mental dan bekal. Rupanya ada pohon besar tumbang yang menghalangi jalur utama.
Kami sempat istirahat di tepi aliran air. Istri mengeluh, sepertinya lututnya sakit. Wah, belum apa-apa sudah sakit, bagaimana pulangnya?
Semakin dekat ke air terjun, kami disajikan beberapa titik longsor dan pohon tumbang. Di daerah curam seperti ini memang rawan longsor. Sehingga disarankan tidak berkunjung saat musim hujan.
Sepanjang perjalan menuju air terjun, aku leluasa bercerita dengan istri, mengenang masa-masa pacaran. Sesekali aku menggandeng tangannya. Tidak terasa, sejam kemudian kami tiba di air terjun Curug Lawe.
Pemandangannya? Keren! Sayang, tertutup ratusan manusia. Kami mencari tempat duduk untuk mengobrol berdua. Sekitar 30 kemudian, para pengunjung yang kebanyakan anak SMA undur diri. Nampaknya sudah mulai kedinginan.
Kami pun tak ketinggalan mengabadikan momen dengan berfoto. Untuk pemandangan alam semenakjubkan ini, trek satu jam perjalanan dengan gerak santai tidaklah seberapa. Keindahan dan kemegahan air terjun ini cocok dinikmati baik sendiri, maupun bersama teman-teman atau keluarga. Apalagi jika bareng kesayangan, heyah...
Jika ada yang mau prewed di Curug Lawe, cocok banget loh! Seandainya ada spot camping di sini, wah sempurna!
Bersyukur bisa berwisata alam bersama pasangan. Next, kami akan mengajak si kecil serta. Kami juga ingin mengajarkannya cinta alam sejak dini. Anda yang butuh kesegaran, ayo ke Curug Lawe-Benowo! KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H