Kualitas udara di Jakarta buruk. Demikian berita yang sedang hangat hari-hari ini. Kejadian ini bukan pertama kali, namun terus berulang dan makin parah.
Imbasnya, Presiden Jokowi mengalami batuk-batuk sampai satu minggu. Penyakit pernafasan di kalangan masyarakat juga meningkat. Diungkapkan Menkes Budi Gunadi Sadikin, sebelum pandemi Covid-19 saja sudah ada 50.000 kasus. Seiring kualitas udara di Jakarta yang makin buruk, masyarakat yang terkena penyakit pernafasan meningkat menjadi 200.000 kasus.
Masalah ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Terjadi sekitar 9 juta kematian di dunia akibat polusi udara. (The Lancet via Liputan6.com) Itu juga berarti polusi udara menjadi penyebab 1 dari 6 kematian di dunia. Memprihatinkan.
Jakarta adalah etalase negara Indonesia di mata dunia. Ironinya, sebagai salah satu daearah yang laju perekonomiannya tinggi, polusi udara menjadi paket yang harus diterima masyarakat. Entahkah disebabkan oleh kendaraan bermotor, dunia industri maupun PLTU.
Apakah pemerintah akan tinggal diam mendapati perekonomiannya maju sedangkan kesehatan masyarakat terancam?
Polusi udara menyebabkan langit di Jakarta menjadi pucat diselimuti asap tebal, baik siang maupun malam. Dilihat saja sudah tidak enak, apalagi dirasakan saat bernafas.
Jakarta dikelilingi 418 fasilitas industri dalam radius 100 km (katadata.co.id). Belum lagi jumlah kendaraan bermotor pribadi yang lalu lalang. Itulah penyumbang polusi di Jakarta dan sekitarnya.
Kondisi ini berbeda jauh dengan kota-kota kecil lainnya seperti Salatiga misalnya. Sebab di kota kecil ini tidak banyak daerah industri. Lalu lintas kendaraannya juga tidak sepadat di Jakarta.
Aku bersyukur hidup dan tinggal di Salatiga. Meski secara pendapatan minim,tapi kualitas udara dan lingkungannya sangat nyaman. Setiap pergi dan pulang kerja, langit selalu biru. Tidak ada selokan berair hitam dan bau. Kemacetan pun tidak seberapa parah.
Yang tidak kalah penting, di sekitar Salatiga masih mudah ditemukan tempat wisata, ruang terbuka maupun restoran bernuansa alam dengan harga terjangkau. Gajinya kecil, tapi tidak susah buat menikmati alam.
Kompleks tempat tinggalku hanya berjarak lima menit berkendara dari pusat kota. Berjarak sekitar dua kilo meter terdapat hamparan sawah yang luas dengan latar belakang Gunung Merbabu. Kalau sedang masa tanam, padi yang hijau sungguh menyegarkan mata dan pikiran.
Di daearah Pulutan, Salatiga juga sedang berkembang kafe dan restoran di tepian sawah dengan latar belakang Gunung Merbabu. Menikmati sore di tempat semacam ini dengan suguhan kopi dan makanan hangat sungguh menyenangkan.
Tak heran, banyak orang yang menguliahkan anaknya di Salatiga akan beramai-ramai mengunjungi tempat ini. Bagi yang dulu kuliah di Salatiga pasti bakal kaengen untuk kembali, sekedar menikmati suasana alam yang indah.
Pernah suatu kali kami pulang kerja lebih awal, pas di jam makan siang. Kami diajak seorang teman untuk makan bakso di suatu restoran terkenal. Dalam perjalanan, kami disuguhkan pemandangan megahnya Gunung Merbabu dengan langit biru yang cerah.
Tanggal 17 Agustus kemarin, sepulang upacara di sekolah aku mengambil potret langit di dekat rumah. Biru cerah. Indah. Begini seharusnya kita menikmati kemerdekaan.
Lalu di suatu sore yang lain aku dan istri menikmati waktu berdua di sebuah kafe. (Sedang, si bayi kami titipkan di tempat Mbah.) Kami sudah beberapa kali berkunjung ke tempat ini. Suasananya asyik, pemandangan menarik, harga menunya terjangkau, dekat pula dari rumah.
Saat belum ramai pengunjung, aku mengambil foto pemandangan Gunung Merbabu yang megah meski hari sudah mulai sore. Tidak perlu banyak uang untuk bisa bersyukur. Dengan menikmati waktu bersama orang terkasih di tempat yang menyajikan pemandangan indah pun cukup.
Namun, aku khawatir kondisi ini tidak akan kekal. Sebagai kota kecil yang sedang berkembang, Salatiga mulai dilirik banyak investor. Restoran besar seperti Hokben, Starbucks, dan Mixue misalnya. Entah nanti disusul dengan restoran maupun industri lain yang tentu memberi dampak positif maupun negatif.
Jika itu terjadi, semoga tidak sampai merenggut birunya langit Salatiga. Maka, kita semua baik pemerintah maupun masyarakat bertanggung jawab menjaganya bersama.
Anda tinggal di Jakarta dan sekitarnya, sudah bosan dengan keruhnya langit akibat polusi? Sila mampir di kota mungil nan asri Salatiga. Bisa jadi, Anda bakal jatuh cinta dibuatnya. --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H