Bagi sebagian besar orang di Indonesia, perut lebih penting daripada adab.
Ini menjadi salah satu alasan Indonesia sulit maju. Yang dipikirkan adalah perut (kepentingan) sendiri. Adab, sikap saling menghormati dan kemampuan menahan diri dilupakan. Ini biasa terjadi saat mengantre di tempat publik seperti bank, atau tempat belanja misalnya.
Beberapa tahun lalu aku sedang antre untuk vaksin booster Covid-19. Di tempat parkir gereja, kami duduk sesuai antrean. Saat giliranku hampir tiba, tinggal berdiri saja, tetiba seorang ibu menyerobot tanpa sungkan atau rasa bersalah.
Entah kenapa, aku pasrah tak bisa marah seperti orang kebanyakan. Aku bertanya-tanya, apakah ibu itu yang tidak tahu diri, atau aku yang terlalu takut menegur?
Ujungnya, ibu itu batal mendapat vaksin. Penyebabnya tekanan darahnya tinggi. Nah kan, sikap tak beradab menuai hasilnya juga.Â
Dari situ aku mulai sadar, aku tidak sepenuhnya penakut. Aku diizinkan melihat langsung tindakan merebut antrean tidak menjadi berkat. Malah jadi malu sendiri.
Ada kisah lain yang serupa. Kamis (3/8), aku bersama dua teman pergi ke salah satu bank pemerintah guna mengganti kartu ATM yang akan kedaluwarsa bulan Agustus.Â
Kami memilih hari Kamis, yakni saat anak-anak pulang awal. Tidak mudah izin di tengah jam kerja, khususnya di sekolah kami. Tidak bisa seenaknya meninggalkan murid.
Tiga tahun lalu, kami membuka rekening bank pemerintah meski sudah punya akun di bank lain. Alasannya, karena para guru non-PNS mendapat bantuan dana dari pemerintah, istilahnya kesra. Penyalurannya harus melalui bank pemerintah ini.
Tiba di bank. Kami menunggu sekitar 10 orang yang tiba lebih dulu. Tidak lama kok, kata mas satpam. Menjadi rahasia umum, di kalangan pemerintah biasa ada orang dalam. Kami pun tak ketinggalan, hehe. Tapi bukan untuk melanggar aturan ya.