Dalam hari-hari menjadi relawan di Lombok, NTB, Kris sempat mengirim surat lamaran ke beberapa lembaga. Dari penerbit (posisi editor, aku membuka diri di luar bidang pendidikan, pas aku punya passion menulis) maupun sekolah.
Namun, sampai Kris kembali ke Jawa, hingga beberapa minggu kemudian belum juga ada panggilan. Aku kembali galau karena jobless.
"Apakah kamu akan kembali ke sekolah sebelumnya di Surabaya?" seorang teman bertanya. (Cuplikan kisahnya di sini) Jika di posisi saya, bagaimana Anda merespons?
Secara etika, aku tidak melakukan tindak kriminal atau amoral. Melanggar kontrak kerja, iya. Bagi rekan guru dan kepala sekolah serta para murid, mungkin saja masih terbuka menerima Kris. (Beberapa murid bahkan menanyakan via DM Instagram, kapan Kris kembali mengajar.) Namun bagi yayasan, Kris tetaplah pengkhianat.
Jawaban atas pertanyaan di atas jelas "Tidak". Selagi dipercayakan nafas, Kris akan mengerahkan segala daya dan upaya untuk menghadapi berbagai pergumulan. Surat lamaran yang Kris buat kukirim ke Kota Salatiga, Semarang bahkan Surabaya (beda dengan sekolah sebelumnya).
Aku sempat mengikuti proses di salah satu sekolah ternama di Surabaya, namun tidak lolos tes materi. Meski sudah diberi kesempatan tes ulang, hasilnya sama. Mungkinkah ini karma?
Tiga bulan lebih aku menunggu kabar dari sekolah di Salatiga, tidak ada balasan. Aku bertanya via email, tentang tindak lanjut surat lamaran yang aku kirim. "Menunggu kabar dari yayasan ya, mister," balas adminnya. Aku pun mencoba sabar.
Tidak ingin berharap pada satu lembaga yang belum jelas kabarnya, aku pun mengirim lamaran ke Semarang. Meski mulanya aku tidak pernah menginginkan berkarya di Semarang yang panas. Namun dalam kondisi jobless, aku melunak.
Tiba-tiba, di waktu hampir bersamaan dua sekolah di Semarang dan Salatiga itu memanggilku. Nah kan, kalau datang berbarengan begini. Di sekolah Salatiga tersedia posisi guru sains SD, sedang di sekolah Semarang posisi staf pengembangan kurikulum SMP.
Sekolah yang Semarang memanggilku lebih dulu. Meski posisi yang tersedia sebagai staf kurikulum, aku diminta melakukan microteaching di hadapan guru. "Nantinya bisa bantu mengembangkan kurikulum yang menarik ya, Pak" demikian ujar staf selesai aku microteaching.
Setelah interview dan microteaching di Semarang, aku masih diminta menunggu kabar. Sedangkan, sekolah Salatiga memanggilku. Nah, kan jadi galau jika begini. Kenapa tidak salah satu pihak yang menuntaskan proses rekrutmen buatku agar bisa fokus.