Kelebihannya, jika kedua lembaga tersebut menerima Kris leluasa memilih akan berkarya di Salatiga atau Semarang. Secara pendapatan, UMR di Semarang sedikit lebih tinggi dibanding Salatiga.
Masalahnya, baik yang di Salatiga (info teman yang pernah bekerja di sana) maupun di Semarang (diinformasikan saat nego gaji) sama-sama memberi UMR. Artinya hanya cukup untuk mobilitas dan biaya hidup. Bagaimana mau menabung untuk menikah? Meski butuh pekerjaan, harus tetap berhikmat dong.
Suatu hari Rabu, seminggu setelah psikotes di Semarang Kris dihubungi melalui telepon bahwa Kris diterima dan diminta datang hari Jumat untuk tanda tangan kontrak. Wah, puji Tuhan!
Satu sisi Kris bersyukur, pergumulan tentang pekerjaan sudah terjawab. Namun dengan analisis ekonomi, Kris masih mengharap yang di Salatiga. Logikanya begini, meski sama-sama UMR, jika memilih yang di Salatiga masih banyak yang bisa Kris tabung. Karena makan dan tinggal masih dengan orang tua.
Harus cerdas seperti ular, tulus seperti merpati
Kepada admin sekolah di Semarang, Kris belum menjawab "Iya". Hanya mengucapkan terima kasih sudah ditelepon. Entah mengapa, ada sesuatu yang menahan Kris untuk tidak segera berkata "Iya".
Masih adakah kesempatan Kris diterima di sekolah Salatiga?
Kris pun nekat menghubungi admin melalui SMS (Kris baru tahu kemudian, ternyata sekretaris yayasan!), karena sudah seminggu lebih sejak microteaching tidak ada kabar.
Kamis sore itu, di depan pabrik tempat kerja ibuku, pesanku dibalas panggilan telepon. Aku menjelaskan, bahwa aku tinggal tanda tangan kontrak sekolah di Semarang, tapi masih mengharap sekolah yang di Salatiga.
Malamnya jam 19.00 Kris diajak bertemu di salah satu warung ronde di Salatiga. Tunggu, kenapa harus bertemu di luar jam kerja? Dadakan begini, kalau Kris tidak SMS juga tidak akan ada panggilan...? Secara psikologis, mereka tidak bisa menunda untuk segera menerima Kris. Siapa cepat dia dapat.