Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Beragam Kisah Pulang ke Kampung Adat

11 Juli 2023   01:11 Diperbarui: 11 Juli 2023   01:12 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Besok kalau ke Sumatra, kau harus pulang ke rumah ini lebih dulu." Begitu pesan abangku, selepas pemberian marga buatku di rumah orang tua angkat.

***

Dua hari setelah kedatangan kami ke kampung halaman istri (27/6/2023), adik iparku yang akan menikah mengikuti rangkaian acara adat Batak, salah satunya martupol.

Martupol bisa diartikan tunangan. Namun dalam adat Batak, martupol terdiri atas kegiatan ibadah di gereja, lalu manukun utang (pembayaran sinamot), dan makan siang bersama. Martupol biasanya dilakukan seminggu sebelum pesta pernikahan.

Dulu saat kami menikah, kami yang menjadi raja-ratu sehari; semua sudah disiapkan. Kini, dalam pernikahan saudara kami menjadi parhobas (pekerja). Membantu menyiapkan alat-bahan, memasak, dan beberes rumah.

Pesta pernikahan adikku digelar tanggal 7/7/2023. Konsekuensinya pekerjaan di rumah tiada habisnya. Ya beberes, ya mengundang, belanja, dan tidak lupa mengasuh si bayi yang masih harus beradaptasi di lingkungan dan budaya yang baru.

Selain agenda utama--pernikahan adik--dengan bonus jalan-jalan, kami ada tugas yang tak boleh dilewatkan, yakni pulang ke rumah.

Baru pergi mudik kok sudah mau pulang?

Begini, aku berasal dari suku Jawa. Salah satu syarat menikahi gadis Batak yakni harus punya marga Batak, yang artinya aku harus punya keluarga angkat. (Dalam kasusku, bukan aku yang mencari keluarga angkat. Aku justru dicarikan oleh calon istriku keluarga angkat yang mana sejak doi kecil sudah ikut merawatnya. Ini yang disebut jodoh dan berkat.)

Kampung istriku di Gunung Purba, sedang rumah orang tua angkatku ada di Dolok Saribu (Bukit Seribu). Secara geografis, rumah mertua lebih dekat. Maka kalau pulang kampung ke Sumatra kami pasti ke rumah mertua.

Namun secara adat aku harus pulang ke rumah bapak-mama di Dolok Saribu, ke kampung adat. Begitulah kekuatan adat Batak mengikat hubungan kekeluargaan. Selama tidak bertentangan dengan firman Tuhan, dan tidak merugikan, jalan terus!

Hidup di luar Jawa berarti berdampingan dengan banyak hambatan, tak ketinggalan di Pulau Sumatra, Kabupaten Simalungun. Meski satu daratan, satu kabupaten pun, ada kesulitan tersendiri jika mau bepergian lintas kampung. Pertama, harus punya kendaraan pribadi, karena tidak semua kampung dilalui angkutan umum.

Kedua, lagu tema kartun Ninja Hatori menjadi soundtrack yang paling cocok. "Mendaki gunung, lewati lembah...", kuteruskan "tak lupa juga menyeberang sungai. Bersama anak istri bertualang...

Ya, untuk ke kampung orang tua angkatku harus melewati rintangan jalan yang berlubang, berbatu terjal bahkan 'sungai'. Kubangan air hujan di tengah jalan yang menyerupai sungai.

Gambarannya jalanan di Lampung yang rusak parah pun ada di Simalungun ini. Syukurnya, dengan motor matic pinjaman adik aku berhasil melewati medan tanpa menapakkan kaki ke tanah. Lolos ujian pembuatan SIM!

Aku harus melewati medan berat tersebut dengan membawa tiga jiwa dan penuh muatan. Syukur, dalam kondisi itu anak kami bisa terlelap. Keren. Jarak yang harusnya ditempuh dalam satu jam jadinya lebih lama karena memang medannya sulit.

Berikut hal-hal yang kami syukuri dalam momen pulang ke kampung adat ini.

1) Merantau ke Jawa, pulang ke rumah orang tua

Setiap anak yang merantau pasti merindukan kampung halaman, entah sesusah apa pun cara hidupnya. Dalam adat Batak, istriku pulang ke Gunung Purba, aku perlu memboyong keluarga kecilku ke Dolok Saribu.

Anak kami bermain bersama bapak dan mama |dokumentasi pribadi
Anak kami bermain bersama bapak dan mama |dokumentasi pribadi

Kami menginap semalam di rumah bapak-mama. Ini penting barang hanya sebentar. Idealnya, aku tinggal di rumah ini selama liburan ke Sumatra. Begitu pun bapak-mama sudah senang. Kami ikut makan, bercerita, tidur, dan mandi di rumah ini. Uniknya di Kabupaten Simalungun ini meski sudah jam 19.00 langit masih nampak terang. Pantas orang di sini betah bekerja di ladang.

Jam 19.00 WIB tapi langit masih terang di Simalungun | dokumentasi pribadi
Jam 19.00 WIB tapi langit masih terang di Simalungun | dokumentasi pribadi

2) Pulang sudah membawa cucu

Malam setelah pesta pernikahan kami, aku dan istri diboyong pulang ke Dolok Saribu. Istri dibawa pulang ke rumah keluarga suami istilahnya. Waktu itu kami sempat mendokumentasikan foto berdua di depan rumah bapak. Kini kami sudah dikaruniai anak, yang artinya sudah membawa cucu untuk bapak mama.

Dulu berdua, sekarang sudah membawa anak | dokumentasi pribadi
Dulu berdua, sekarang sudah membawa anak | dokumentasi pribadi

3) ikut bekerja di ladang

Sebagai anak yang berbakti, sudah selayaknya membantu pekerjaan orang tua. Biar sudah bekerja di kota, meski sudah mandiri.

Orang tua angkatku berprofesi sebagai petani. Setiap hari, kalau sedang tidak ada pesta, kerjanya ke ladang. Orang Sumatra punya ladang yang sangat luas. Tidak bisa dikerjakan sendiri, melainkan meminta tetangga/ pekerja lain untuk membantu.

Aku dan istri sudah sepakat akan ikut bapak-mama ke ladang. Hari itu agendanya adalah panen kacang tanah. Meski di ladang hanya jalan-jalan dan tidak bisa banyak berkontribusi, kami tetap bersyukur bisa membantu pekerjaan bapak-mama di ladang.

Ikut bekerja di ladang | dokumentasi
Ikut bekerja di ladang | dokumentasi

Kami berangkat pas jam tidur anak kami, sehingga ia tidur di pondok (gubuk) di tengah ladang. Aku jadi membayangkan, kira-kira seperti inilah dulu istriku saat kecil ikut bekerja di ladang membantu orang tuanya. Anak kami pun sah jadi orang Simalungun, sudah tidur di ladang opung.

Anak kami tidur di pondok yang di ladang | dokumentasi pribadi
Anak kami tidur di pondok yang di ladang | dokumentasi pribadi

Demikian beragam kisahku pulang ke kampung adat. Meski banyak tantangan, kepulangan ini sungguh berkesan. --KRAISWAN 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun