Namun secara adat aku harus pulang ke rumah bapak-mama di Dolok Saribu, ke kampung adat. Begitulah kekuatan adat Batak mengikat hubungan kekeluargaan. Selama tidak bertentangan dengan firman Tuhan, dan tidak merugikan, jalan terus!
Hidup di luar Jawa berarti berdampingan dengan banyak hambatan, tak ketinggalan di Pulau Sumatra, Kabupaten Simalungun. Meski satu daratan, satu kabupaten pun, ada kesulitan tersendiri jika mau bepergian lintas kampung. Pertama, harus punya kendaraan pribadi, karena tidak semua kampung dilalui angkutan umum.
Kedua, lagu tema kartun Ninja Hatori menjadi soundtrack yang paling cocok. "Mendaki gunung, lewati lembah...", kuteruskan "tak lupa juga menyeberang sungai. Bersama anak istri bertualang...
Ya, untuk ke kampung orang tua angkatku harus melewati rintangan jalan yang berlubang, berbatu terjal bahkan 'sungai'. Kubangan air hujan di tengah jalan yang menyerupai sungai.
Gambarannya jalanan di Lampung yang rusak parah pun ada di Simalungun ini. Syukurnya, dengan motor matic pinjaman adik aku berhasil melewati medan tanpa menapakkan kaki ke tanah. Lolos ujian pembuatan SIM!
Aku harus melewati medan berat tersebut dengan membawa tiga jiwa dan penuh muatan. Syukur, dalam kondisi itu anak kami bisa terlelap. Keren. Jarak yang harusnya ditempuh dalam satu jam jadinya lebih lama karena memang medannya sulit.
Berikut hal-hal yang kami syukuri dalam momen pulang ke kampung adat ini.
1) Merantau ke Jawa, pulang ke rumah orang tua
Setiap anak yang merantau pasti merindukan kampung halaman, entah sesusah apa pun cara hidupnya. Dalam adat Batak, istriku pulang ke Gunung Purba, aku perlu memboyong keluarga kecilku ke Dolok Saribu.
Kami menginap semalam di rumah bapak-mama. Ini penting barang hanya sebentar. Idealnya, aku tinggal di rumah ini selama liburan ke Sumatra. Begitu pun bapak-mama sudah senang. Kami ikut makan, bercerita, tidur, dan mandi di rumah ini. Uniknya di Kabupaten Simalungun ini meski sudah jam 19.00 langit masih nampak terang. Pantas orang di sini betah bekerja di ladang.