Tiada akar, rotan pun jadi. Atas saran Yanti, Kris naik DAMRI untuk keluar bandara. Syukurnya ada jurusan yang searah dengan rumah kakak rohani. Dari DAMRI harusnya oper ojek online. Tapi karena jaraknya tidak terlalu jauh, Kris memilih jalan kaki. Mau bagaimana, tidak bisa memakai aplikasi.
Harus naik jembatan penyeberangan sambil menggendong ransel dan menyeret koper. Berjalan tidak sampai tiga kilo meter, tapi rasanya lumayan lah...
Di rumah transit (kakak rohani) ini pun Kris mendapat banyak nasihat dan masukan dari kakak rohani. Bagaimana menjaga pertumbuhan pribadi dan pasangan. Tentang prinsip yang benar tentang mempersiapkan pernikahan. Dan tidak lupa, selalu mencari kehendak dalam setiap pergumulan dan perjalanan hidup. Kebetulan kakak rohani kami ini pasangan Jawa-Batak juga.
Hanya dua hari Kris di Jakarta. Waktu pertemuan ini tentu kurang dibanding tiga bulan tidak bertemu. Namun, masih sedikit lebih baik daripada tidak sama sekali. Pertemuan itu kami manfaatkan untuk saling berbagi kabar terbaru dan tentu saja mendiskusikan buku sambil bersantap makanan. Yanti memfotokan lembaran materi sebelum Kris tiba, sehingga masih bisa persiapan pribadi.
Betapa senang dan bahagia luar biasa, akhirnya bisa bertemu dengan sang kekasih. Kami saling melepas rindu dan menceritakan banyak hal yang dialami selama tiga bulan tidak berjumpa. Kris dan Yanti terus beriman, bahwa Tuhan akan terus menopang relasi kami.
Liburan bulan Desember, jika Tuhan izinkan masih banyak kesempatan untuk kami bertemu dan saling melepas rindu. Namun, makna dan esensinya tentu berbeda dengan kepulangan Kris langsung dari Lombok. Kalau kepalang rindu harus segera bertemu, tidak bisa ditunda barang sebulan.
Kunjungan Kris ke Jakarta dari Lombok ini menjadi semacam kompensasi karena telah meninggalkan Yanti. Setidaknya ada usaha Kris untuk membayar hutang pertemuan pada Yanti. --KRAISWAN