Bukan Kris namanya jika karena satu-dua hambatan sudah menyerah. Sejak mengerjakan tugas akhir kuliah yang amat ribet, dengan dosen pembimbingnya profesor, aku belajar tentang kerja keras.
Di masa pacaran ini porsinya beda memang, lebih berat. Tapi sudah terbentuk mental yang lebih tangguh. Itu karena masa-masa tugas akhir itu aku kerjakan dengan tekun. Jika aku menyerah waktu itu, pasti beda juga kualitas mentalku.
Jatuh tiga kali, bangkit empat kali.
Aku mulai lagi membuat surat lamaran kerja. Ditolak yang satu, dicoba yang lain. (Kan sudah pengalaman sering ditolak cewek, haha) Ditolak lagi, coba lagi. Kerinduanku adalah kembali mengajar sebagai guru. Tapi, seandainya di waktu ini Tuhan mengizinkanku tidak mengajar, aku mau tetap bersyukur. Tidak ingin terlalu pilih-pilih pekerjaan.
Aku ceritakan pengalaman ikut jobfair di kampus UKSW Salatiga. Aku mendaftar ke dua stan lembaga pendidikan dan langsung diwawancara. Satu lembaga berkantor di Jakarta, lainnya di Bandung.
Apakah Tuhan mengizinkan aku ke Jakarta?
Pikirku, jika diterima di Jakarta akan sangat menolong relasi Kris dengan Yanti. Tapi jika di Bandung pun, dengan nilai UMR yang lebih baik dari Salatiga, rasanya masih memungkinkan mengunjungi Yanti di Jakarta 1-2 bulan sekali.
Dengan secuil pengalaman di Surabaya kemarin, aku bisa melalui wawancara dengan lancar. Aku lebih percaya diri. Dua hari kemudian, Sabtu, aku diundang psikotes di kampus oleh lembaga dari Jakarta itu. Jika lolos, akan diundang ke Jakarta untuk tahap berikutnya.
Sorenya, teman Kris yang bekerja di kampus mendapat bocoran dari rekannya nama-nama yang lolos tes tersebut. Nama Kris tidak masuk. Tapi masih diminta menunggu dua minggu lagi, katanya.
Aku jadi harap-harap cemas. Sudah begitu, tidak ada kabar lagi dari sekolah di Bandung. Mungkin karena skill bahasa Inggris ku tidak mumpuni. Sekolah tersebut bilingual Indonesia-Inggris.
Dua minggu setelah jobfair. Jika lebih dari dua minggu tidak ada kabar, artinya satu: ditolak. Menyerah? Tidak. Jangan.