Kamis (8/6/2023) menjadi hari yang paling ditunggu-tunggu, mendebarkan, membuat cemas sekaligus menjadi hari yang bakal menjadi kenangan. Ya, para murid akan mengikuti wasana warsa (graduation).
Perjalanan mereka selama enam tahun di jenjang Sekolah Dasar tiba di puncak. Mereka siap meninggalkan dunia kanak-kanak menuju dunia remaja---masa puber. Kenangan mereka bakal mengkristal melalui graduation.
Graduation tahun ini mengusung tema Blessed to Bless (Diberkati untuk Menjadi Berkat). Pada prosesi pembukaan, anak-anak bergerak jalan dalam tiga baris memasuki ruangan gelap. Masing-masing membawa lampu menyerupai lilin.
Acara intinya adalah pengumuman hasil Sumatif Akhir Jenjang. Syukurnya, murid-murid kami lulus 100%! Berikutnya pengalungan medali dan pemberian Surat Keterangan Lulus (SKL). Betapa lega dan bahagia murid serta orang tua mendapat kabar ini.
Setelah prosesi pengalungan medali, anak-anak akan melakukan performance. Kali ini, anak-anak kelas 6 menampilkan mini drama bertema Time Traveller. Anak-anak diajak berpetualang ke tahun 2017 lalu, di mana mereka pertama kali masuk SD.
Kalau ditanya cita-cita, mereka bakal mengungapkan profesi yang beragam, khas anak-anak. Ingin menjadi Cinderella, Iron Man, dokter sampai presiden Indonesia. Lalu masuk masa pandemi, harus belajar daring, memakai masker. Hingga terkini, tahun 2023.
Dalam Yearbook (buku tahunan) sekolah kami, anak-anak diminta kembali menuliskan cita-citanya. Apakah berubah? Ya. Lebih realistis? Tidak juga. Namun dari situ merepresentasikan betapa luas dan tak terbatas imajinasi anak-anak. Performance anak ditutup dengan dance diiringi lagu The Dreamers-Jung Kook BTS.
Baca juga: Mengapa Impian Anak adalah Investasi Berharga dan Wajib Mendapat Dukungan? Berikut Alasannya!
Intinya, semua pihak berbahagia, khususnya orang tua dan murid. Kami sebagai guru-staf yang telah mengawal selama 6 tahun ini turut diberkati atas kelulusan mereka.
Setelah acara bahagia dalam graduation itu, aku dan empat orang teman dihadapkan pada suatu accident. Siang itu, kami diizinkan pulang jam 1 siang, dua jam lebih awal. Beberapa teman mengajak makan mi ayam-bakso. Enak, katanya.
Berjarak 10 menit naik mobil, kami tiba di warung dimaksud. Antrinya, astaga... pas jam makan siang. Menunggu sekitar 20 menit, pesanan kami tiba. Dengan kecepatan masing-masing, kami mengucap syukur dalam doa, lalu sigap memindahkan isi mangkok ke dalam perut. Memang enak!
Drama dimulai saat teman kami membayar di kasir. Sayup terdengar rintihan seorang perempuan berjilbab, tertutup suara derit kaki kursi yang bergeser. Ia pusing, mau pingsan. Temanku gercep, mendaratkan perempuan itu di kursi. Ia pun bersandar di tembok. Aman.
Namun, sampai kami beranjak dari meja, si mbak bukannya baikan malah makin lemas. Duduknya oleng, mau jatuh dari kursi. Jangan sampai kursi ini patah seperti kursi bapak di belakangku tadi. Mbaknya memang agak gemuk.
Panik, temanku segera mencari HP di tas untuk menghubungi keluarga. Ternyata dia anak kos. Lalu, HPnya diberi sandi. Ia memejamkan mata, tak sanggup berbicara. Repot ini.
Dengan sisa tenaga, ia berkata minta diantarkan ke Rumah Sakit DKT, ia punya kartu member. Tapi, kami tidak mengenal mbak ini. Nanti yang tanggung jawab siapa? Bisa saja kami pasrah pada pemilik warung, kan pelanggannya. Namun, dengan jiwa kemanusiaan yang melekat dalam diri, kami harus do something.
Ada seorang gadis rambut pirang menerobos, lalu memegang tangan si mbak berjilbab. "Mbak temannya?", temanku menyelidik. Ternyata gadis ini perawat. Nadinya lemah, perlu air hangat. Atas rekomendasinya, mbak ini harus segera dibawa ke rumah sakit.
Inilah kesempatan untuk mempraktikkan tema Blessed to Bless. Kami dan kita semua apa pun latar belakangnya, harus menjadi berkat bagi orang lain. Kami diminta untuk mengosongkan diri, tidak peduli siapa orang yang kita tolong. Dikenal atau tidak, baik atau tidak; kalau perlu bantuan ya ditolong.
Bak panitia graduation, kami pun berbagai tugas. Ada yang mengantar ke mobil, ada yang membawakan tas, ada yang membawakan motor. Pemilik warung memanggil jukir, diangkatnya mbaknya yang sudah lemah lunglai itu dalam satu gerakan. Hebat.
Aku bertugas membawakan motor, dan membukakan jalan. Wah keren, seperti di filem-filem itu. Tiba di pertigaan lampu lalu lintas, pas menyala warna merah. Otakku bergulat, terobos atau tunggu. Ini pasien darurat lho.
Baca juga: Secuplik Kisah Blessed to Bless
Begitu mobil teman di sampingku, kami rapat kilat. Ia sepakat, menerobos lampu merah karena memang darurat. Aku tancap gas. Ada satu motor dari depan, aku melambaikan tangan sambil berteriak "Pasien, darurat!" Bapaknya mengangguk.
Tiba di lobi IGD. Aku segera memanggil tenaga medis agar membawakan ranjang pasien. Untuk mengangkat pasien dari mobil pun susah. Kami hanya dua pria. Temanku memegang kakinya, aku harus menyangga pinggul dan badannya. Apakah aku kuat?
Dengan kekuatan bakso urat....!
Belum sampai di tengah ranjang, si pasien aku jatuhkan. "Aaaaaaaaa!!", teriakku. Dikira tanganku terjepit. Mbaknya berat euy. Badanku yang seperti sapu lidi ini tak sanggup menopang mbaknya yang posturnya 3x lipat dariku.
Setelah memberi penjelasan dan menunjukkan identitas pasien, kami boleh meninggalkannya. Temanku yang tadi di kasir memberi nomor HP-nya sebagai kontak. Syukur, sorenya mbaknya sudah siuman dan mengucapkan terima kasih.
Demikian kisah epic kami. Dari graduation ke accident, telah diberkati untuk menjadi berkat. --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H