Bulan Desember 2017 Yanti mendapat izin dari mentornya untuk pulang ke kampung halamannya, Medan, Sumatra Utara. Inilah waktu yang pas untuk melepas rindu pada keluarga.
Pada kesempatan ini, Yanti menceritakan pada bapak-mamaknya bahwa dia sedang dekat dengan Kris. Yanti menanyakan, apakah diizinkan berpacaran dengan Kris. "Iya nang*, asal baik-baiknya kalian," kata bapak Yanti. (*Inang: sebutan anak perempuan bagi orang Batak)
Puji Tuhan! Padahal bapak belum begitu mengenal Kris. Ini juga menjadi salah satu konfirmasi doa Yanti. Dia merasa lega telah mendapat restu dari orang tuanya untuk berpacaran dengan Kris, orang yang bukan etnis Batak.
Awal 2018 Yanti kembali ke Bogor dalam rutinitasnya. Namun tak lama, karena satu dan lain hal Yanti memutuskan pamit pada mentornya. Ia pun bergumul untuk melanjutkan perjuangan di Jawa Tengah.
Kurang lebih satu bulan lamanya Yanti menumpang di kos teman-temannya, nomaden dari satu kos ke kos lainnya. Waktu itu aku dan Yanti masih dalam tahap doa bersama. Kami pun mendoakan hal pekerjaan Yanti ke depan.
Awal bulan Maret, mendekati berakhirnya waktu doa bersama kami bertemu dan mengobrol di sebuah warung makan di Ungaran. Kami mendiskusikan langkah apa yang harus diambil ke depan.
Saat inilah yang paling mendebarkan. Karena tidak tiap hari berjumpa, rasa canggung pun menyelimuti kami. Sambil menikmati santap malam, kami saling membagikan kabar serta perkembangan doa masing-masing.
Kondisinya serba tidak mudah. Yanti masih belum pasti akan bekerja di mana. Kris juga masih belum mapan di Salatiga. Waktu itu Yanti ada beberapa peluang. Pertama, ia sudah mengirim lamaran ke kantor Dinkes Salatiga sebagai tenaga honorer. Namun saat pengumuman, ia tidak lolos seleksi administrasi.
Kedua, ada kenalannya yang menjadi suplier tepung untuk produksi kerupuk di Salatiga. Ketiga, ditawari bekerja di sebuah rumah industri minuman herbal di Jakarta. Pilihan ini juga dilematis. Jika di Salatiga, enaknya kami akan tinggal satu kota, namun pendapatannya minim. Di Jakarta bagus untuk berkarir, namun kami bakal LDR lagi.
Kembali ke warung makan. Dalam kondisi Yanti yang belum jelas, sebelum bersepakat berpacaran, Kris memberi prasyarat. Ia tidak ingin berpacaran sebelum Yanti mendapat pekerjaan. Aneh.
Katanya, Kris turut merasakan pergumulan yang dialami Yanti, terlebih terkait kondisi perekonomian keluarganya. Biarkan Yanti fokus mendapat pekerjaan dulu. Namun, syarat ini tidak Yanti sukai. Bukan karena Yanti takut tidak mendapat pekerjaan. Sejak awal ia beriman Tuhan yang akan menyediakan pekerjaan.
Kris meyakini Yanti adalah sosok yang sesuai dengan kriteria Kris, meski tidak langsung dibukakan di awal. Selama waktu berdoa bersama, perasaan Kris pada Yanti tidak berubah. Sudah mantab. Tinggal menunggu pendapat Yanti.
Di titik ini, di warung makan sore itu, Kris tetap menjadi pribadi culun karena sebagai laki-laki tidak berani memulai pembicaraan. Misalnya, "Apakah kita akan berpacaran sekarang?" Maklum, belum pernah pacaran.
Kami sama-sama tahu arahnya, tapi untuk mengungkapkan isi hati susah bukan main. Lidah Kris kelu untuk berkata-kata di depan Yanti. Apa yang terucap justru berbeda dengan yang dipikirkan.
Daripada terus berada dalam ketidakjelasan, akhirnya Kris nekat bersuara. "Jadi, bagaimana tahapan relasi kita selanjutnya, Yan?" Yanti malah balik bertanya, "Lha mau gimana?" Gubrak! Ini dua orang kok sama berbelitnya ya...?
Nampaknya, Yanti mengharap Kris yang berinisiatif dalam pembicaraan ini. "Kita kan sudah melewati waktu doa bersama. Berarti... kita pacaran kah?" ada rasa grogi saat melontarkan kalimat ini. Tidak ada jawaban dari Yanti. Apa maksudnya?
Entah malu atau gengsi, Yanti justru menjawab dengan anggukan lembut. Apakah itu artinya "Yes"? Ingin rasanya Kris berteriak saat itu, akhirnya punya pacar!!! Tapi urung kulakukan. Itu di dalam ruangan, banyak pengunjung. Nanti dibilang katrok (norak).
Untuk sekian detik, Kris merasa seperti inikah rasanya surga? Indah. Tenteram. Bahagia.
Akhirnya, kami pacaran. Ini adalah peristiwa bersejarah. 12 Maret 2018 barulah awal dimulainya kisah kami dalam tahap pacaran. Masih banyak 'goliath' yang mengantri untuk dihadapi.
Dalam 33 hari setelah dari kampung, Yanti dipanggil untuk bekerja di Jakarta. Puji Tuhan! Mulanya Yanti tidak suka bekerja kantoran. Namun, dalam pergumulan berikutnya, ia lebih terbuka. Lagi pula, tempatnya bekerja adalah home industry, bukan perusahaan besar.
Komitmen berpacaran, sudah. Pergumulan tentang pekerjaan Yanti, sudah. Tapi hadir pergumulan lain. Sebab itu artinya kami akan kembali LDR... Nasib, nasib. Sejak dari kenalan, PDKT sampai doa bersama kami tinggal berjauhan. Kini, pertama jadian juga langsung LDR. Sanggupkah kami menjalaninya?
Itulah salah satu sebab, kami menetapkan "hidup dalam takut akan Tuhan" pada kriteria Pasangan Hidup kami. Banyak pasangan yang akhirnya tidak melanjutkan relasi karena takut/ tidak kuat menjaga komitmen dalam LDR.
Sedang kami, sekalinya pacaran berani mengambil resiko LDR. Tidak bermaksud sok kuat. Kami justru beriman, Tuhan yang mempertemukan kami Tuhan juga yang akan menopang relasi kami. Kami sadar ini takkan mudah.
Salah satu komitmen kami dalam berpacaran adalah mencapai pertumbuhan relasi. Tak cukup hanya chatting atau video call. Kami akan berjuang bertemu secara rutin, setidaknya 1-2 bulan sekali untuk menambah pengenalan. Kami akan gantian saling mengunjungi.
Semua itu perlu diperjuangkan demi mengenal keseluruhan dalam diri pasangan. Lebih-lebih mengarah pada persiapan pernikahan kelak. --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H