Satu dari ribuan mimpi yang kurajut adalah berkunjung ke Jepang---salah satu negara di Asia yang paling maju teknologinya dan budaya disiplin yang sangat tinggi.
Lihat saja di jalanan Indonesia, dibanjiri kendaraan bermotor merek Jepang. Shinkansen, salah satu pelopor kereta tercepat di dunia buatan Jepang. Lalu, sekolah-sekolah di Jepang mengajarkan kedisiplinan dan kemandirian sejak dini pada anak.
Namun, hidup itu seperti roda yang berputar, kata pepatah.
Beberapa waktu ini, Jepang berada di titik terendahnya. Bukan karena ancaman virus berbahaya. Bukan karena perang dagang. Bukan pula karena serangan bom nuklir. Melainkan karena resesi seks.
Resesi seks diartikan sebagai penurunan frekuensi berhubungan seks. Hal ini berakibat pada menurunnya jumlah anak.
Meski begitu, resesi seks bukan satu-satunya pemicu penurunan angka kelahiran. Ada faktor lain seperti pilihan untuk childfree, keberhasilan keluarga berencana atau kebijakan perencanaan kehamilan di suatu wilayah.
Jepang pernah mencapai kejayaan pada 1960-an. Kini, hanya ada 799.728 kelahiran di Jepang pada 2022. Jumlah ini adalah yang terkecil dalam sejarah, hanya setengah dari 1,5 juta kelahiran di tahun 1982.
Tingkat kesuburan rata-rata wanita di Jepang turun menjadi 1,3, jauh dari 2,1 yang diperlukan untuk menjaga populasi stabil. Bahkan, kematian telah melampaui kelahiran selama lebih dari satu dekake.
Tidak ada kelahiran, berarti tidak ada anak-anak. Dampak negatifnya ratusan sekolah tutup karena kekurangan murid, khususnya daerah pedesaan.
Menurut data pemerintah, 450 sekolah tutup. Pada tahun 2002-2020 sudah hampir 9.000 tutup selamanya. Kondisi yang tidak kalah mengerikan dari serangan bom atom. Fenomena ini menimbulkan efek berantai. Banyak orang malas tinggal di desa karena fasilitas pendidikan yang kurang.