Perlu tiga hari aku bergumul, apakah akan mendoakan Kris secara pribadi atau tidak. Sejauh pengenalanku pada Kris, ada beberapa hal dalam dirinya yang masuk dalam kriteria pasangan hidupku. Poin plus karena Kris berani datang jauh dari Surabaya.
Belakangan aku tahu, bahwa tiket keretanya PP kelas eksekutif. Keberaniannya mengungkapkan perjalanan doa dan perasaannya di depanku, menurutku adalah bentuk kerendahan hati. Kalau Kris orang gengsian, pasti ogah datang.
Saat itu, aku dalam kondisi tidak punya apa-apa, bahkan bisa dibilang orang tidak jelas. Pekerjaannya banyak, tapi tidak punya penghasilan tetap. Di Bogor mau ngapain, untuk tujuan apa? Ada pertanyaan demikian yang merongrong dalam diri.
Saat itu, Kris menguatkanku, "Kamu di Bogor untuk satu tujuan yang jelas kok, Yan." Betapa lega hatiku. Ternyata dia mendukung apa yang aku kerjakan selama di Bogor, meskipun mungkin dia tidak sepenuhnya paham untuk tujuan apa.
Yanti mengimani bahwa Tuhan-lah yang membawa Kris ke Bogor. Tidak bisa dijelaskan dengan logika manusia memang. Kurang dari sebulan sejak kedatangan Kris, Tuhan pun menjawab doaku. Kerinduan untuk memiliki pasangan yang menerima dan mendukung apa yang aku kerjakan, dalam suka maupun duka.
Dan orang pertama yang Tuhan kirimkan adalah Kris. Dialah jawaban doa dalam penantianku. Suatu anugerah yang indah dari Tuhan.
Kenapa Kris? Karena Kris dapat melihat dan bahkan mendukung panggilan yang Tuhan taruh dalam hidupku. Dia mau menerimaku bahkan saat aku tak memiliki siapa pun yang memahami kondisiku, kecuali Tuhan tempatku mengadu.
Saat Kris datang menyatakan isi hatinya, sungguh aku merasa bahwa dia adalah utusan Tuhan yang akan menjadi teman seumur hidupku. [RN]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H