Kebaikan sekecil apa pun, jika dilakukan dengan tulus, apalagi di tengah maraknya tren anarkisme, ugal-ugalan dan pamer kekayaan; bisa menentramkan hati. Masih ada orang baik di sekitar kita.
Yang aku tuliskan di sini untuk memviralkan kebaikan, supaya makin banyak orang yang berani berbuat baik, tak soal sekecil apa pun.
***
Di media sosial viral video tentang sekumpulan remaja usia SMP patungan (iuran) membelikan sepatu untuk temannya. Video tersebut diunggah di Twitter oleh @LokalPendaki, dengan kutipan "Nih tak kasih contoh buat bocil-bocil yg suka bikin onar di jalan.... Buatlah hidup kalian bermanfaat."
Kejadiannya di SMPN 3 Tasikmalaya, Jawa Barat. Aksi sekumpulan remaja ini sepele, tapi menarik. Seorang murid lelaki diketahui bernama Yandi memiliki sepatu yang mulai rusak.Â
Sejatinya tidak rusak parah sampai seperti mulut mengaga, masih bisa dipakai. Tapi karena teman-temannya peduli, mereka ingin membelikan sepatu yang lebih layak untuk temannya ini.
Dalam video nampak sekitar 6 orang remaja pria. Diinisiasi oleh Rafi, mereka menulis di selembar kertas, dengan judul 'sodakoh peduli', targetnya Rp217.000.Â
Patungan merupakan prinsip gotong royong. Besaran iuran yang terkumpul dari teman-temannya beragam, jumlahnya juga tidak besar. Ada yang Rp10.000, Rp5.000, Rp2.000 pun ada. Kecil, tapi berarti.
Dus sepatu untuk temannya ini juga bukan merk terkenal. Bahkan nampak agak lusuh. Rupanya sepatu tersebut dibeli secara online. Sederhana, tapi tulus dan bermakna.
Bagaimana reaksi Yandi menerima sepatu baru? Tak tergambarkan oleh kata-kata. Bahagia bukan main! Bukan oleh berapa harga sepatunya, tapi karena perhatian dan kepedulian teman-temannya. Kebaikan seperti ini akan terus terkenang.
Aksi para remaja di Tasikmalaya ini bak oasis di padang "gurun" Mario Dandy. Kenapa begitu?
Tindak kekerasan dan arogansi yang dilakukan Mario Dandy anak eks pegawai Dirjen Pajak itu mencoreng moral di masyarakat karena suka pamer kekayaan dan melakukan penganiayaan.Â
Generasi muda yang harusnya membangun bangsa, malah merusak dan melukai sesama. Tidak ada rasa bersalah pula. Kering, gersang bak di padang gurun.
Di daerah Magelang, akhir-akhir ini juga marak kenakalan remaja yang naik motor sambil mengayunkan celurit ke bodi depan sebuah mobil.Â
Kenakalan dan kejahatan lain seperti tawuran juga marak terjadi. Barangkali inilah dampak negatif media sosial, para remaja melakukan tindakan brutal untuk mengaktualisasikan diri. Ciri generasi stroberi.
Ternyata, dari sudut Kota Tasikmalaya masih ada sekumpulan remaja yang peduli. Bukan dengan moge yang nunggak pajak atau mobil Rubicon yang plat nomornya palsu.Â
Melainkan dengan lembaran rupiah yang dikumpulkan, para remaja ini menjadi berkat bagi sesamanya. Buat apa kekayaan kalau akhlaknya rusak, ujungnya merusak generasi. Kekayaan orang tuanya pun belum tentu halal.
Sekitar empat belas tahun lalu, tahun 2009 sebelum era medsos, ada juga kebaikan kecil yang ditunjukkan sekelompok remaja kelas XII SMA. Ceritanya, waktu itu murid-murid di kelas XII IPA hendak membuat kaos kelas, biayanya sekitar Rp50.000.
Ternyata, ada seorang anak culun dari kampung yang memutuskan tidak ikut membuat kaos tersebut. Alasannya? Tidak jelas. Padahal karena kondisi perekonomian orang tua yang pas-pasan. Ia tidak ingin menambah beban orang tua. Uang sakunya tidak seberapa. Dan ini tidak disampaikan pada teman-temannya.
Tibalah hari pembagian kaos. Ternyata si anak culun ini dibelikan oleh teman-teman sekelasnya. Entah mereka patungan atau bagaimana.Â
Nah, yang jelas, mereka punya kepedulian pada satu temannya yang tidak (mampu) membeli kaos, supaya sama-sama punya kaos kelas agar kompak. KEREN!
Kembali pada video di TikTok. Ada komentar unik salah satu netizen dengan akun @JokoSla15895734, "Pendidikan orang tua yang baik dan lingkungan yang baik.Â
Belum lagi ditambah makanan hasil uang Halal". Begitulah, tidak harus menunggu kaya untuk berbuat baik. Asal mendapat daya dukung yang tepat, anak remaja bisa melakukan kebaikan bagi sesama. --KRAISWANÂ