"Mr, kan Mr tahu kalau jadi guru gajinya kecil. Tapi kenapa tetap mau menjadi guru?"
Demikian pertanyaan menohok salah seorang muridku, setelah beberapa waktu lalu kami mendiskusikan keberagaman profesi dalam pelajaran Tematik. Entah dari mana dia tahu gaji guru (swasta) kecil. Perlu kuliah 3 SKS rasanya untuk menjawab pertanyaan ini. Maka, kujawab sebisanya.
Pertanyaan muridku ini memutar kembali rasa ingin tahu beberapa tahun lalu. Kebanyakan sekolah swasta dimiliki oleh yayasan Kristen dengan etnis Tionghoa. Tapi kenapa gurunya yang etnis Tionghoa sangat sedikit? Bisa jadi, jawabannya mengacu pada kalimat pertanyaan muridku. "Gajinya kecil."
Apakah aku menjadi guru karena melihat gajinya? Apakah kalau ada pekerjaan lain yang gajinya lebih tinggi tapi tidak aku sukai, aku tetap melakoninya? Apakah aku bisa bertahan dengan gaji kecil sebagai guru, sedang kebutuhan terus bertambah? Dan banyak pertanyaan lain sering mengusik pikiranku.
Berikut ini alasan yang paling masuk akal untuk menjawab pertanyaan muridku.
"Kelak, kalau kamu dewasa kamu akan tahu apa yang namanya panggilan hidup, Nak" Itu kalimat pertamaku untuk muridku.Â
Panggilan hidup, makanan apa ini? Entahkah otak anak ini sudah bisa memahaminya atau belum. "...artinya, kita harus melakukan apa yang menjadi panggilan hidup kita. Tidak bisa dihindari," lanjutku.
Anda merencanakan hendak mengunjungi suatu tempat. Dalam perjalanan, di sebuah persimpangan, Anda dibelokkan di arah yang lain, bahkan berlawanan dengan tujuan. Begitu tiba, Anda menikmati hari-hari di tempat itu, meski bukan tujuan Anda yang semula. Kira-kira begitulah makna panggilan.
Di awal kuliah, aku tak berpikiran menjadi guru. Berbicara di depan umum saja fales. Mengajar anak-anak? Tak mungkin bisa. Namun seiring perjalanan, saat mengerjakan tugas akhir aku dibukakan, dibentuk dan dituntun sedemikian rupa untuk menjadi guru.