Bekerjalah sekeras-kerasnya agar kelak punya cukup uang untuk piknik. Anda setuju?
Aku dibesarkan dalam keluarga yang tak hobi piknik. Penghasilan orang tua pas-pasan, tidak ada alokasi dana untuk piknik. Meski begitu, aku bersyukur saat SD pernah ikut piknik PKK sekampung ke Jogja. Waktu SMP studi wisata ke Bali dan saat SMA boncengan motor ke air terjun daerah Magelang. Kalau waktu itu sudah musim gawai dan medsos, pasti ada kenangannya.
Waktu pacaran, masih bisalah piknik yang dekat-dekat. Sesekali ngapel pacar ke Jakarta. Makan dan tidur masih menumpang orang tua, keuangan aman. Setelah menikah, rasanya mustahil buat piknik. Uangnya bagai embun, mudah datang cepat pergi!
Kerja, kerja, kerja; kapan piknik?
Idealnya, orang yang kerja terus-menerus akan sampai pada titik lelah, jenuh dan kehabisan energi. Biasanya, obatnya ya piknik. Tapi bagaimana mau piknik kalau gaji pas-pasan?
Piknik, seperti apa pun bentuknya, membutuhkan uang. Kalau piknik lokal, pasti bakal lebih hemat. Tapi kita butuh sesuatu yang lebih menarik dan menantang. Mata ini butuh sesuatu yang atraktif, bukan cuma pemandangan biasa.
Rasa-rasanya aku akan sulit mewujudkan piknik bersama keluarga. Apalagi sudah ada anak bayi, repot, banyak kendalanya. Namun, suatu hari istriku memberi inspirasi melalui unggahan video di IG. Tidak harus menunggu kaya untuk piknik. Kalau menunggu banyak uang, nanti anak tambah besar, tahu-tahu sudah remaja; piknik pun sekedar khayalan.
Kami sepakat sejak pacaran, salah satu cara mensyukuri berkat Tuhan adalah dengan menikmati waktu bersama. Bulan Oktober 2022, di hari Jumat kami pilih sebagai waktu piknik. Pertama, hari Jumat karena tidak akan seramai weekend. Aku izin di jam makan siang, tidak ada lagi jam mengajar. Kedua, untuk mengambil refleksi satu tahun usia anak kami (bulan Oktober) dan hampir dua tahun pernikahan kami (Desember).
Penginapan menarik di Magelang
Kami membidik di sekitaran Jawa Tengah yakni Magelang---daerah yang sedang berkembang pariwisatanya. Melalui IG juga (Ah, terima kasih IG!), istriku tahu ada tempat menginap yang menarik di Magelang. Di kawasan perbukitan, di lereng Gunung Sumbing. Dari unggahan IG tersebut, nampak pemandangan dan suasana yang menawan. Jaraknya relatif dekat, biayanya juga terjangkau.
Kami telah merencanakan dan mendoakan untuk berangkat dan menginap pada minggu kedua bulan Oktober 2022. Tapi aku lupa, di tanggal itu aku ada kegiatan sekolah, pas hari Sabtu. Terpaksa kami undur seminggu. Ternyata kami diundang tetangga yang anaknya menikah. Maju kena, mundur pun kena.
Dengan terpaksa, kami absen acara nikahan tetangga. Kami sudah terlanjur booking, tidak bisa diundur lagi. Syukurnya, istriku sesekali membantu di tetangga yang punya gawe itu.
Kami akan berangkat motoran. Menurut survei Google Maps, perjalanan sekitar 2 jam. Kami sudah persiapan jauh hari: servis motor, beli jas hujan, dan berbagai bekal. Saat kami berangkat, hujan malah turun deras. Terpaksa pakai mantel. Hampir sepanjang perjalanan, hujan deras. Kalau kami tidak nekat, pikniknya batal!
Perjalanan ini bukan tanpa risiko. Mengajak anak bayi, di musim hujan pula. Kami berhenti sesekali, memastikan si bayi baik-baik saja. Syukurnya, sebelumnya si bayi pernah diajak perjalanan jauh motoran ke Kulonprogo, sebelum musim hujan. Tega? Ini petualangan ala kami. Tapi tetap waspada dan peka dengan kondisi si bayi.
Linggarjati Joglo, penginapan unik di daerah Magelang jadi target kami. Dari dua jam menurut Gmaps, kami perlu hampir 3,5 jam untuk mencapai tujuan. Sebab hujan deras, belum paham daerah Magelang. Sering berhenti berteduh sambil membuka map, lalu menghapal arah dan belokannya. Konyol memang. Masa tiap tikungan harus menepi melihat map?
Salah sendiri, tidak bawa plastik transparan untuk membungkus HP. Sudah kepikiran, tapi lupa membawa. Di tengah kota, ada warung yang sudah tutup, tapi satu pintunya masih terbuka. Atas saran istri, aku bertanya siapa tahu mereka menjual plastik. Dan benar, perjalanan pun lanjut dengan melihat map dari HP terbungkus plastik. (Moral: wajib bawa plastik dalam perjalanan)
Dari pusat kota, perlu sekitar 1 jam ke Desa Mangli, arah pendakian Gunung Sumbing. Permukiman makin jarang, jalanan menyempit, banyak pepohonan dan di tepian jurang. Hujan awet deras, langit hampir gelap. Bensin menipis, jalanan menanjak. Tadinya kukira masih cukup.
Kami sempat tersesat karena sudah mulai lelah dan hujan sangat deras mengganggu penglihatan. Sekitar pukul 17 kami pun tiba. Hawa dingin langsung menyergap seluruh tubuh. Kami segera melunasi pembayaran, mendapat kunci dan segera masuk kamar untuk menghangatkan diri.
Penginapan Linggarjati joglo dibangun di sebuah petak di antara ladang tembakau. Ada tiga jenis kamar yang ditawarkan, dari yang termahal storey camp Rp700.000, private camp Rp425.000 dan wooden camp Rp315.000 untuk weekdays. Untuk weekend, Rp50.000 lebih mahal. Besaran harga dipengaruhi fasilitas yang disediakan. Kami cukup menyewa yang wooden camp.
Menu makanannya standar tapi rasanya cukup enak dan harganya terjangkau. Nasi goreng, ayam goreng, soto, bakso, dan mi instan tentu saja. Di daerah dingin begini, mi kuah yang mengepul ditambah telur ceplok memang tak tertahankan nikmatnya.
Catatan, hanya pasangan yang sudah menikah yang boleh menginap di tempat ini ya. Oleh admin kami diminta membawa KK dan KTP sebagai bukti. Saat daftar ulang, berkas dimaksud tidak diminta karena sudah ada bukti hidup, anak bayi.
Tak perlu menunggu kaya untuk bisa piknik
Menjelang weekend, sebelum waktu liburan dan Magelang adalah kombinasi yang unik dalam piknik ala kami. Destinasinya masih terjangkau oleh kami, jadi tak harus menunggu kaya untuk bisa piknik. Berikut ini beberapa foto menakjubkan dalam piknik kami di Magelang.
Apakah harus kaya dulu baru bisa piknik? --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H