Produktivitas dalam bekerja dipengaruhi oleh daya dukung orang-orang, dan juga lingkungan yang tepat. Buat apa gaji tinggi kalau lingkungan tidak mendukung (baca: toxic)? Lebih baik gaji cukup namun orang-orangnya kooperatif. Kalau gajinya kecil tapi lingkungan tidak mendukung? Ya, nasib.
Di tempatku bekerja saat ini berisi orang-orang yang mendukung meski dengan gaji yang tidak besar. Cukuplah untuk operasional bulanan. Dengan dukungan orang-orang tepat itu, bisa menolongku untuk menyelesaikan tugas dan kewajiban. Salah satunya adalah wakasek bagian kurikulum.
Aku adalah guru Tematik kelas 6. Jam mengajarnya paling banyak (28 JP/minggu) dibanding mapel yang lain (22 JP/minggu). Tugasnya harus menyiapkan materi dengan cakupan dan alokasi waktu yang tepat. Pelajarannya tiap hari!
Dulu sebelum menikah, aku bisa menyelesaikan administrasi (daily task, tes bulanan, tes semester, jadwal bulanan, summary) sebelum tenggat waktu untuk dikoreksi waka. Setelah menikah, banyak yang keteteran. Aku sering meminta maaf pada waka karena terlambat mengumpulkan, akibatnya waka juga bertambah beban untuk mengoreksi.
Namun, suatu hari setelah pelaksanaan ANBK, waka mengajakku mengobrol di lorong kelas depan ruangannya. Beliau mengucapkan terima kasih padaku. Buat apa? Katanya, gara-gara aku, beliau jadi terbantu dalam menulis esai untuk kegiatan Calon Guru Penggerak (CGP).
Kok bisa? Ya, kapan lalu aku "menulari" beberapa temanku untuk menulis. Beberapa ada yang berhasil bergabung di Kompasiana, lainnya menulis di blog pribadi. Lainnya mengaku pernah punya blog tapi lupa password karena lama tidak menulis, perlahan kembali menulis.
Syukurlah, kalau dengan hal receh itu aku bisa berbagi berkat. Lagi pula, bukankah semua guru yang hebat harus bisa menulis (mengetik)? Menulis apa? Apa saja, misalnya artikel, syukur jurnal ilmiah. Asal jangan cuma menulis status di beranda medsos.
Hanya guru angkatan old yang berhasil memindahkan isi buku ke dalam kepala yang---barangkali---tidak perlu menulis. Mereka adalah generasi hapalan. Satu sisi keren, bisa hapal di luar kepala. Sisi lain, mereka ketinggalan dan susah beradaptasi karena tugas menghapal dan menyimpan sudah diambil alih Google yang banyak tahu.
Guru harus menulis. Selain mengajar, guru punya kewajiban membuat administrasi seperti RPP (lesson plan), soal tes dan latihan soal serta membuat rapor (ada juga versi rapor yang deskriptif!) Di tempatku, guru juga wajib membuat ringkasan materi (summary), jadwal bulanan dan tugas harian. Masa iya mau copy-paste via Google?
Dari mana guru bisa membuat semua perangkat itu kalau tidak membaca dan berlatih menulis? Membaca dan menulis bak dua sisi mata uang, tidak bisa dipisahkan.
Alasan berikutnya guru enggan menulis adalah waktu. Banyak yang merasa tidak punya waktu. Jam mengajar padat, harus mengerjakan administrasi, koreksi, belum mengurus keluarga, apalagi kalau ada jadwal les. Namun, itu pun belum menjadi cukup alasan.
Syaratnya harus selalu punya niat yang dibakar terus-menerus sampai mengkristal menjadi komitmen. Meminjam istilah para pengusaha: Kalau gagal, bangun lagi. Kalau jatuh, bangkit lagi. Kalau gagal, ya mulai lagi.
Aku tidak tahu seperti apa artikel yang ditulis oleh ibu waka. Dia cukup rutin menulis di blog (Kiki's Solitary) dalam Bahasa Inggris (dia lulusan Bahasa dan Sastra Inggris). Semoga ibu waka juga bisa "menulari" teman-teman CGP angkatannya untuk mau menulis.
Waktu membuka blog, aku dikejutkan dengan komentar seseorang. Aku tidak mengenal orang ini. Ia mengomentari artikelku yang aku tulis tahun 2014, yaitu tentang seorang pendeta senior yang sejak muda setia dalam melayani Tuhan. Siapa kira, ibu ini adalah anak dari pak pdt (alm). Aku tidak tahu dari mana dia tahu artikel di blog itu. Melalui artikel tersebut, mengingatkan ibu ini pada sosok yang tak tergantikan cinta, semangat, teladan dan pengorbanan dalam hidupnya. Puji Tuhan.
Pengalaman tentang tulisan juga dialami seseorang ribuan tahun lalu. Pada malam itu juga raja tidak dapat tidur. Maka bertitahlah baginda membawa kitab pencatatan sejarah, lalu dibacakannya di hadapan raja. Dan di situ didapati suatu catatan tentang Mordekhai, yang pernah memberitahukan bahwa Bigtan dan Teresh, dua orang sida-sida raja yang termasuk golongan penjaga pintu, telah berikhtiar membunuh raja Ahasyweros. (Ester 6:1-2)
Mordekhai adalah keturunan Yahudi dan paman Ester (Hadasa). Ester, Mordekhai dan kawan sebangsanya (Israel) menjadi buangan di negeri Persia dan Media. (Kelak Ester akan menjadi ratu Ahasyweros) Sejarah mencatat (syukur ada yang mencatat!), Mordekhai pernah mendengar niat jahat yang mengancam keselamatan raja. Akibatnya, Mordekhai mendapat penghormatan tinggi dari raja dan seluruh rakyat di kerajaan. Ia juga mendapat cincin materai kerajaan yang membuatnya memiliki kekuasaan besar dalam istana raja.
Dengan begitu, aku akan terus menulis. Semoga menjadi berkat bagi banyak orang! --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H