Kenaikan harga BBM adalah peristiwa musiman, biasanya diikuti demo buruh dan mahasiswa. Mereka yang suka demo ini membawa-bawa nasib rakyat kecil, padahal nasib rakyat tidak juga berubah, tetap saja kecil.
Dalam artikelku sebelumnya, aku menyoroti Indonesia sebagai pasar empuk produk teknologi dan alat transportasi. Makin banyak tangki, makin banyak BBM yang dibutuhkan. Sedang biaya pengolahannya mahal, agar terbeli oleh rakyat dan roda perekonomian terus berputar, pemerintah memberi subsidi. Lama-kelamaan, pemerintah merasa "sesak nafas".
Kenapa Indonesia yang kaya sumber daya alam masih mengimpor BBM dari luar negeri?
Pertama, ini penyakit lama sejak pemerintahan Soeharto sampai SBY yang malas membangun teknologi pengolahan minyak mentah. Kita punya minyak mentahnya. Tapi untuk menjadi Pertalite, Pertamax dan lain-lain, minyak mentah harus diproses dengan teknologi. Tidak bisa langsung masuk ke tangki kendaraan.
Kita tidak punya teknologi pengolahan minyak mentah dan tidak pernah diusahakan untuk dibangun pemerintah sebelumnya. Kita harus mengekspor minyak mentah ke Singapura. Mereka punya teknologinya meski tidak punya minyak mentahnya. Akhirnya kita bergantung pada teknologi milik Singapura.
Seandainya sejak zaman Soeharto kita fokus membangun teknologi pengolahan minyak mentah, kita bisa mengatur sendiri harga minyak. Tapi jika demikian, kita tidak akan mengenal slogan "Penak zamanku to?". Masyarakat takkan lupa saat Soeharto menggulung IPTN yang diprakarsai oleh Habibie demi Indonesia bisa membuat pesawat terbang sendiri.
Masalah lainnya, dari dulu para penjabat kita suka dapat komisi dari impor-impor. Menjadi alasan kuat, untuk tidak pernah membangun teknologi pengolahan minyak mentah.
Kedua, cadangan minyak mentah kita makin lama semakin menyusut. Minyak mentah dihasilkan dari fosil (sisa makhluk hidup yang telah mati jutaan tahun lamanya), bukan energi yang terbarukan, sehingga suatu saat akan habis. Semakin sedikit cadangan minyak kita, harganya makin mahal.
Sudah cadangan minyaknya sedikit, permintaannya semakin banyak karena jumlah kendaraan di seluruh dunia terus bertambah. Pemerintah melakukan subsidi supaya rakyat tetap bisa menikmati minyak murah. Subsidi ini yang semakin lama makin berat. Setiap tahun triliunan uang dibakar untuk subsidi minyak.
Zaman Presiden SBY misalnya, pemerintah harus membakar uang lewat subsidi BBM sebesar Rp1.300 triliun selama 10 tahun pemerintahannya. SERIBU TIGA RATUS TRILIUN! Bayangkan, kita bisa membangun banyak hal dengan uang sebanyak itu tanpa utang. Jalan tol, teknologi nuklir dan tentu saja pengolah minyak mentah.
Denny Siregar memberi ilustrasi sederhana namun menarik tentang subsidi BBM. Ibaratnya seorang ayah (pemerintah) yang memberikan uang bulanan kepada anaknya (masyarakat) yang seharusnya sudah mandiri. Supaya gaji anaknya bisa ditabung, si ayah harus memberi subsidi supaya anaknya bisa membayar kos, makan, bahkan pacaran.
Suatu saat si ayah mengatakan bahwa pemberiannya dikurangi Rp3.000 per bulan, si ayah sudah keberatan. Namun, si anak berontak, karena artinya dia harus kehilangan kenikmatannya selama ini. Dia lalu demo, teriak-teriak, meminta keadilan.
Harga Pertalite seharusnya Rp14.700/liter, si anak disuruh membayar hanya Rp7.650/liter (sebelum dinaikkan). Subsidi dari si ayah Rp7.000/liter sangat berat. Si ayah terpaksa mengurangi subsidi supaya bebannya agak berkurang.
Anak yang manja seperti analogi Denny, bakalan demo, teriak-teriak, menangis dan menempatkan diri sebagai anak kecil (rakyat kecil) karena dikurangi kenikmatannya. Padahal maksud pemerintah mengurangi subsidi (dengan menaikkan harga BBM) supaya subsidinya bisa diberikan ke anak lain yang membutuhkan.
Kenapa Malaysia bisa terus memberikan subsidi untuk anaknya meski anaknya sudah mulai mandiri? Penduduk Malaysia ada 30 juta orang, sedangkan penduduk Indonesia hampir 10 kali lipatnya. Ibarat Malaysia anaknya cuma satu, bapaknya kaya. Indonesia anaknya 10, bapaknya jadi terengah-engah.
Aku kudu piye?
Situasi dunia sedang tidak bagus salah satunya akibat perang Rusia-Ukraina yang belum menunjukkan tanda-tanda berdamai. Kita harus mulai hidup hemat dan membuang biaya tidak perlu jika ingin tetap bisa menabung.
Harus mencoba mengubah gaya hidup. Misalnya, menjual kendaraan yang boros BBM. Bisa juga beralih pada kendaraan bertenaga listrik. Pada dasarnya, ditekankan Denny, adaptasi adalah kunci. Ada satu hal yang tidak mungkin kita lawan, yaitu perubahan. Jika kita tidak mau berubah, kita akan mati sendiri.
Kilang minyak terbesar di dunia
Kilang minyak adalah fasilitas mengolah atau memurnikan minyak mentah menjadi bermacam produk seperti solar, bensin, minyak tanah, avtur dan lain-lain. Kilang minyak ini memiliki skala kompleksitas yang melibatkan proses pengolahan yang rumit dan membutuhkan keahlian mendalam dari tahap awal hingga commissioning atau pengujian dan pengoperasian.
Di Indonesia, kilang yang dimiliki (dikelola oleh Pertamina) adalah kilang tambang, bukan kilang pengolahan. Beberapa negara lain yang memiliki kilang minyak terbesar di dunia yakni:
1) Jamnagar Refinery (India) milik perusahaan Reliance Industries Limited, memproduksi 1,24 juta barel/hari.
2) Kilang minyak Ulsan (Korea Selatan) milik SK Energy, memproduksi 1,12 juta barel/hari.
3) Komplek kilang minyak Paraguana (Venezuela) milik Shell, memproduksi 971.000 barel/hari.
4) Kilang minyak Yeosu (Korea Selatan) milik Chevron dan GS Group, memproduksi 730.000 barel/hari.
5) Kilang minyak Onsan (Korea Selatan) milik S-Oil, memproduksi 669.000 barel/hari.
6) Kilang minyak Singapura (Singapura) milik ExxonMobil, memproduksi 605.000 barel/hari.
Kita perlu banyak belajar dari negara lain. Singapura, negara yang wilayahnya tidak lebih luas dari Kota Jakarta pun punya kilang pengolah minyak mentah meski tidak punya bahan bakunya. Lalu Korea Selatan bahkan punya tiga kilang minyak yang besar-besar.
Jika ingin mandiri mengolah BBM, pemerintah perlu belajar kepada mereka. Jangan terus bergantung pada negara lain, dan menghabiskan triliunan anggaran untuk subsidi. Jangan sampai "si bapak" habis nafasnya, "si anak" tidak pernah mandiri dan cuma bisa merengek minta subsidi.--KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H