Doi sudah menungguku di pintu keluar dengan motor matic fasilitas dari mentornya. Sebelum bertatap muka dengannya, aku sempat dag-dig-dug. Bagaimana cara ngomongnya nih?
Aku grogi, harus memulai percakapan dari mana. Seperti kuceritakan sebelumnya, aku berani di chat, tapi ciut kalau tatap muka. Aku bertemperamen melankolis, tipe eksklusif dan kesulitan membangun relasi. Setelah bersapa secara kaku, aku menawarkan diri untuk memegang setang motor. Tidak elok kalau aku dibonceng cewek (pengalaman tidak menyenangkan waktu SMA).
Selama perjalanan, aku sempatkan berbasa-basi. Tak sanggup memikirkan selangkah ke depan, apa yang mau dibicarakan dengan doi. Untuk sedikit mengulur waktu, aku harus mencari cara. Sekitar pukul 08.00, waktu yang pas untuk sarapan.
Kami mampir di sebuah warung soto. Doi juga yang merekomendasikan tempat makan. Sambil menunggu pesanan, aku kepo tentang kesehariannya di Bogor. Saat sarapan, aku mempersilahkannya untuk terus bercerita. Tak lama isi mangkokku kandas, sedang mangkok doi masih penuh. Sampai dingin dan ujungnya tidak dihabiskan. Doi memang doyan cerita. (Salahku tidak memberinya jeda untuk makan)
Doi menceritakan panjang lebar kisah hidupnya, sejak lulus kuliah hingga akhirnya bisa "tersesat" di Bogor. Aku pun suka mendengarnya bercerita, jadi bisa menambah pengenalanku tentang doi.
Selesai sarapan, kami melanjutkan perjalanan menuju rumah kontrakannya, berjarak sekitar 30 menit. Aku perlu menumpang mandi sebelum jalan-jalan. Sekalian mencari tahu, seperti apa kondisi "kampus" yang pernah diceritakannya. --KRAISWANÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H