Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Liburan ke Rumah Simbah, Suatu Pelajaran untuk Hidup Tabah

2 Juli 2022   14:54 Diperbarui: 3 Juli 2022   08:15 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku memberi ini sebagai ucapan syukurku, karena kalian sudah mau mengunjungi aku," jelasnya setelah memberi-paksa amplop buat anak kami yang masih bayi. Itu setelah kami menolak dengan halus.

***

Libur semester kali ini, kami tidak mendapat banyak waktu libur. Kami harus mempelajari Implementasi Kurikulum Merdeka. Alokasi liburnya satu minggu, yakni 20-24 Juni 2022. Itu pun tidak penuh. Tanggal 20 ada acara gathering ke Jogja. Tanggal 22 harus hadir ibadah, sesuai kebijakan yayasan.

Di hari biasa aku ngantor sampai jam 3 sore, masih memberi les 2x seminggu. Weekend dipakai untuk mencuci, beberes rumah dan beristirahat. Praktis, liburan ini tidak bisa melakukan perjalanan jauh.

Meski begitu, aku dan istri mencoba memikirkan destinasi yang sekali dayung, tiga pulau harus terlampaui. Namun harus waspada karena anak kami masih delapan bulan. Pusing kan?

Ke mana tujuan liburannya? Pantai? Air terjun? Hutan pinus? Gunung? Mal? Ke kota mana? Solo, Jogja, Jepara...? Bukan perkara mudah untuk mengambil keputusan. Pengennya liburan yang berkesan, tapi terkendala di banyak sisi.

Setelah bermeditasi.... Aha! Kami akan ke Jogja. Tapi bukan ke pantai atau Malioboro atau tempat populer lainnya. Melainkan berkunjung ke rumah Simbah (Mbah).

Kamis (23/06) kami bangun lebih awal. Mandi, sarapan, istri memompa ASI buat bekal si kecil. Pakaian dan semua perlengkapan sudah disiapkan malam sebelumnya. Kami beranjak pukul 7 dari rumah. Perjalanan minimal tiga jam sampai tujuan.

Kami memilih jalur Kopeng. Meski lintasan menanjak dan menurun, sepadan dengan udara sejuk dan pemandangan indah; tidak sepadat jalur Klaten. Sekitar 7.30 di kawasan Kopeng terasa sangat dingin. Maklum, dua tahun pandemi tidak pernah bepergian. Si kecil meringkuk nyenyak di gendongan mamanya.

Setelah dua jam perjalanan, kami mampir di warung jus. Sekalian rehat dan memberi sarapan pada si bayi. Tersedia toilet gratis pula, hehe. Warung ini menjadi langganan sejak pacaran tiap kami ke Kokap. Sarapan si kecil perlu 30 menit.

Jam 11 kurang lima menit, kami pun tiba di rumah Mbah. Perjalanan kami sekitar empat jam (minus rehat) dengan motor matic 110 cc. Mantab! Puji Tuhan selama perjalanan si kecil tidak rewel. Bayi 8 bulan diajak touring sejauh 100 km.

Pintu rumah masih tertutup. Si Mbah sedang bersantai di dalam. Setelah bongkar muatan, si bayi langsung digendong si Mbah. Hebat, meski posturnya kecil, kuat menggendong bayi 10 kg. Sedang aku saja mulai kewalahan.

Mbah menggendong si kecil | dokumentasi pribadi
Mbah menggendong si kecil | dokumentasi pribadi

Selama di rumah Mbah, kami tidak bepergian jauh-jauh. Selain Mbah itu sudah tidak memungkinkan kondisi fisiknya, waktu kunjungan kami terbatas. Jadi banyak dipakai untuk mengobrol dan jalan-jalan kecil di sekitar rumah.

Daerah Kulonprogo merupakan kawasan perbukitan gersang. Banyak ditanami kelapa, jati dan pepohonan berkayu. Wisata sekitarnya adalah Kali Biru yang baru mau menggeliat, lalu dihantam pandemi selama dua tahun. Pemudanya banyak merantau agar bertahan hidup.

Sore itu, kami diajak Mbah jalan-jalan di ke sebuah kedai kopi, namun belum beroperasi. Lokasinya di ketinggian, menyajikan pemandangan indah Waduk Sermo. Pulangnya membeli gorengan, hangat-hangat di sore hari. Lalu, kami meminta tolong Mbah mengantar untuk membeli duren di pinggir jalan. Siapa tahu yang jualan muridnya, bisa dapat diskon bahkan gratis, hihi.

Jalan-jalan sore bareng Simbah | dokumentasi pribadi
Jalan-jalan sore bareng Simbah | dokumentasi pribadi

Esok harinya, kami mengajak si kecil sarapan di tepi waduk. (Kami biasa mengajak doi sarapan outdoor). Bendungan Sermo diresmikan Presiden Soeharto. Memberi pasokan air bagi pertanian di sekitar Kokap. Pembangunan terakhir, pemda membelah bukit membuat jalan tembus ke kampung di bawahnya.

Waduk/ Bendungan Sermo | dokumentasi pribadi
Waduk/ Bendungan Sermo | dokumentasi pribadi

Aku menceritakan tentang Mbah. Mbah yang kami kunjungi ini spesial. Tidak ada hubungan darah dengan kami, belum menikah; tapi kami panggil "Mbah".

Ceritanya begini. Sebelum menikah, istriku bekerja di sebuah home industry produk herbal di Jakarta. Kantornya bekerjasama dengan produsen gula semut di daerah Kokap, Kulonprogo, Yogyakarta. Istriku (bagian produksi dan pengembangan bisnis) mendapat tugas untuk mendampingi produksi di Kokap.

Kokap diketahui sebagai salah satu sentra industri gula semut. Dulu, banyak pengrajin yang memproduksi. Namun, tidak semua pengrajin mau menjaga kualitas, namun mengharap harga jual tinggi. (Mentalitas yang susah diajak berkembang)

Bosnya pacarku (waktu itu), melihat ada satu ibu yang mau diarahkan agar menjaga kualitas. Salah satunya mengoven gula, supaya tidak mudah lembab. Sampai dibelikan oven besar oleh si bos. Ibu inilah si Mbah.

Singkat cerita aku sering menjemput pacarku ke Kokap saat weekend, diajak liburan ke Salatiga. Minggunya, aku mengantar doi ke stasiun, kembali ke pekerjaan masing-masing. Menikmati indahnya LDR.

Relasi pekerjaan ini berlanjut pada relasi keluarga, melampaui ikatan darah. Setelah menikah, istriku resign demi mengurus rumah tangga. Meski begitu, istriku tetap menjalin relasi dengan Mbah. Kami masih memesan gula semut untuk produksi minuman herbal istriku.

Terakhir kami mengunjungi ibu ini adalah Desember 2019. Empat tahun kemudian kami baru bisa kembali mengunjungi beliau. Puji Tuhan, beliau dalam kondisi sehat dan bugar.

Mengunjungi Mbah, dulu dan sekarang | dokumentasi pribadi
Mengunjungi Mbah, dulu dan sekarang | dokumentasi pribadi

Mbah adalah seorang pensiunan guru Bahasa Indonesia (SMP). Beliau belum menikah, lebih tepatnya memutuskan tidak menikah. Beliau mendedikasikan waktu untuk merawat adiknya yang butuh perhatian 24 jam, lalu simboknya yang sudah renta. Padahal ada saudaranya yang lain. Pelajaran tabah #1: Rela mengorbankan masa depan demi kecintaan pada anggota keluarga.

Kenapa kami panggil Mbah? Sebab, usianya sepantaran bahkan lebih tua dari orang tua kami. Dia tinggal sendirian di rumahnya. Tidak mengangkat anak. Pernah berniat mengangkat anak dari saudara, tapi tidak diberikan. Meski sudah pensiun, Mbah ini tidak sakit/ stres. Dia mau belajar dan mengerjakan industri rumahan. Pelajaran #2: Tetap berkarya meski tinggal di rumah sendiri dan sudah pensiun.

Setelah sarapan dan mandi, kami segera berkemas. Sedih rasanya harus meninggalkan Mbah. Dia pasti akan sendirian. Kami hanya bisa mendoakan si Mbah sehat, panjang umur sehingga kelak kami bisa kembali berkunjung. Waktu kami pamit inilah, si Mbah menyisipkan amplop buat si kecil. Istri sudah berusaha menolak. "Ini ucapan syukurku, karena kalian mau mengunjungi aku." Itu pelajaran tabah #3. --KRAISWAN 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun