Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Beda Adat, Siapa Takut? #7

12 Juni 2022   13:43 Diperbarui: 12 Juni 2022   13:50 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aku dan Yanti terekam dalam foto bersama | dokumentasi pribadi

Dua orang tak saling kenal tertangkap dalam suatu bingkai, dikabarkan menikah belasan tahun kemudian. Paling hanya kebetulan. But, believe it or not, aku dan Yanti pun mengalami kejadian serupa.

Memang tak sampai belasan, hanya beberapa tahun. Kami tak pernah menyangka bakal terlibat dalam kegiatan yang sama, terekam dalam foto. Kami sempat terpisah dalam perjalanan masing-masing dan kelak berpacaran. Mungkinkah kebetulan juga? Kami lebih mempercayai campur tangan Tuhan yang bisa memakai momen kebetulan untuk mempertemukan kami.

Kamp regional (kampreg) Persekutuan Mahasiswa Kristen Jawa Tengah diselenggarakan di Kaliurang, Jogja. Bulan Oktober 2012 itulah kali pertama Kris bertemu gadis Batak bernama Yanti. Masalahnya, saat itu Kris tidak menyadari bahwa ada Yanti di acara kamp. Tidak mempedulikan lebih tepatnya.

Aku sedang bergumul dengan salah seorang rekan pelayanan di Salatiga, tapi doi tidak ikut kamp. Aku tidak tertarik mengenal perempuan lain. (sombong!) Melirik pun tidak. Padahal, mengenal lawan jenis untuk berjejaring tidak masalah, bukan? Aku belum dewasa mengelola perasaan saat itu. Masih egois, labil dan rapuh.

Dalam sesi sharing dan doa kelompok, aku satu kelompok dengan Yanti, tapi Kris tidak dapat mengingat kejadian itu (baru diingatkan Yanti bertahun kemudian setelah kami berpacaran). Sudah ingatannya payah, eksklusif pula, jadi aku susah mengembangkan jejaring.

Pergumulanku dengan lawan jenis yang kudoakan saat itu cukup berat. Perbedaan karakter, pola pikir ditambah "kebutaan" menyebabkan gesekan dan memicu cek-cok. Beda tipis rasa cinta dengan amarah.

Aku berharap, doi ikut dalam kamp, sehingga bisa berjuang bersama dalam pelayanan pemuridan. Namun, bisa jadi ini hanya alibi. Sikap hatinya salah, motivasi ikut kamp juga salah. Hasrat spiritual yang terbungkus rapi dalam ego dan kementahan karakter.

Interaksi dengan peserta kamp tidak memberi kesan istimewa. Kenalan, saling tahu, sharing, dan berlalu begitu saja. Kris tidak memberi hati penuh dalam kamp. Luka hati akibat gesekan dengan doi yang aku doakan jadi penghambat. (Mungkin ini maksud orang tua, kalau belum siap jangan pacar-pacaran. Menyusahkan.) Padahal, seharusnya pemahaman dan kapasitasku ditambahkan setelah mengikuti kamp.

Beberapa hari selepas kamp, aku bertukar akun FB dengan Yanti. (Aku lupa dari mana saling mendapat kontak) Basa-basi berkirim inbox di Facebook, namun tak lama, lalu off. Kami kembali berkomunikasi saat Yanti hendak meminta foto kegiatan kamp dari pengurus PMK Salatiga. Setelah itu komunikasi tidak otomatis intens.

Namun, Sang Direktur Kehidupan terus menjalankan skenarionya. Aku berkesempatan menawarkan kaos usaha dana Natal gereja pada Yanti. Kenapa harus menawarkan pada Yanti, sedangkan banyak teman lain? Entahlah. Lalu gantian Yanti menawariku kaos usaha dana PMK kampusnya. Sebatas itulah komunikasi kami kala itu.

Beberapa bulan setelah kampreg, kakak rohani kami mengajak hiking ke Gunung Merbabu. Diajaknya mahasiswa persekutuan Semarang serta. Mayoritas dari mereka perempuan. Aku hanya anggota persekutuan, bukan pengurus. Tidak pernah berkontak pengurus dari kota lain, otomatis tak ada satu pun mahasiswa Semarang yang aku kenal. (Padahal, tentu saja ada Yanti)

Gunung Merbabu berketinggian 3.145 mdpl memiliki dua sisi puncak. Perlu setidaknya tujuh jam perjalanan dari basecamp hingga mencapai puncak pertama. Kami meninggalkan basecamp sekitar pukul 20.00 WIB. Sengaja malam, supaya tidak kepanasan dan cepat lelah.

Langit malam memaksa mata dan pikiran menekuni langkah demi langkah, waspada agar tidak terperosok ke jurang. Selain itu, kami harus bergulat dengan hawa dingin dan tiupan angin kencang. Syukur, dalam gelap perjalanan malam itu kondisi semua peserta tetap fit.

Menjelang subuh, kami tiba di pos terakhir. Puncak tertinggi disebut Kentheng Songo, masih sekitar 30 menit untuk mencapainya. Hanya beberapa orang yang fisiknya masih kuat yang melanjutkan langkah, sisanya berkemah di tanah lapang. Untuk sampai di titik ini pun perlu perjuangan mengalahkan diri. Bagaimana mau mencapai puncak yang lebih tinggi? Syukurnya aku salah satu yang masih kuat untuk lanjut.

Para mahasiswa perempuan dari Semarang terbilang tangguh karena mampu menginjakkan kaki di puncak Kentheng Songo. Ada kebanggaan, syukur serta kepuasan tersendiri saat kami mencapai puncak. Pesona sunrise, "pulau" awan, udara sejuk, sinar matahari yang hangat serta pemandangan memukau dari ketinggian. Kami berhasil mengalahkan diri sendiri!

Baca juga: Beda Adat, Siapa Takut? #6

Namun kami harus segera turun. Tekanan udara di puncak tidak baik untuk berlama-lama. Puncak bukanlah tujuan. Bisa kembali ke permukaan dengan selamat, itulah tujuan utamanya.

Peserta dari Salatiga dan Semarang sudah berkenalan sebelum berangkat, namun tak bisa langsung akrab. Kris tahu ada sosok Yanti karena teman-temannya memanggil namanya. Namun hingga di puncak, Kris tak segera menyadari ada Yanti dalam rombongan. Dasar payah.

Lagi pula, tidak ada yang istimewa dari Yanti saat itu. Potongan gadis tomboi, badannya pendek, memakai celana panjang berkantong samping, kaos tangan dan kerudung kepala... Serius, dari sudut manapun tak ada menariknya. Itu disebabkan aku menilai hanya dari apa yang dilihat mata.

Di puncak Gunung Merbabu bersama tapi tak menyadari | dokumentasi pribadi
Di puncak Gunung Merbabu bersama tapi tak menyadari | dokumentasi pribadi

Saat perjalanan turun tiba-tiba aku sedikit (sedikit lho ya) terpesona dengan tindakan Yanti. Dia menenteng kresek belang-belang untuk memungut sampah plastik dan botol bekas air mineral yang ditemukannya. Ih, ngapain sih repot-repot begitu. Siapa pula yang akan terganggu dengan sampah di gunung ini? Peduli amat!, ejekku dalam hati.

Kris mengonfirmasi kelak setelah jadian, pencitraan anak Kesehatan Masyarakat, katanya. Jujur, sejak dari itu Kris mulai menaruh perhatian pada Yanti. Mungkinkan momen hiking ini menjadi cara Tuhan untuk mengakrabkan kami?

Sepulang dari muncak, komunikasi kami kembali terputus. Menjalani kuliah berbeda kota, tidak ada lagi kegiatan bersama. Tidak ada urusan yang mengharuskan saling kontak. Maka, pertemuan yang sekali dua itu tidak memberi kesan mendalam. Perhatianku pada Yanti pun menguap. --KRAISWAN 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun