Beberapa bulan setelah kampreg, kakak rohani kami mengajak hiking ke Gunung Merbabu. Diajaknya mahasiswa persekutuan Semarang serta. Mayoritas dari mereka perempuan. Aku hanya anggota persekutuan, bukan pengurus. Tidak pernah berkontak pengurus dari kota lain, otomatis tak ada satu pun mahasiswa Semarang yang aku kenal. (Padahal, tentu saja ada Yanti)
Gunung Merbabu berketinggian 3.145 mdpl memiliki dua sisi puncak. Perlu setidaknya tujuh jam perjalanan dari basecamp hingga mencapai puncak pertama. Kami meninggalkan basecamp sekitar pukul 20.00 WIB. Sengaja malam, supaya tidak kepanasan dan cepat lelah.
Langit malam memaksa mata dan pikiran menekuni langkah demi langkah, waspada agar tidak terperosok ke jurang. Selain itu, kami harus bergulat dengan hawa dingin dan tiupan angin kencang. Syukur, dalam gelap perjalanan malam itu kondisi semua peserta tetap fit.
Menjelang subuh, kami tiba di pos terakhir. Puncak tertinggi disebut Kentheng Songo, masih sekitar 30 menit untuk mencapainya. Hanya beberapa orang yang fisiknya masih kuat yang melanjutkan langkah, sisanya berkemah di tanah lapang. Untuk sampai di titik ini pun perlu perjuangan mengalahkan diri. Bagaimana mau mencapai puncak yang lebih tinggi? Syukurnya aku salah satu yang masih kuat untuk lanjut.
Para mahasiswa perempuan dari Semarang terbilang tangguh karena mampu menginjakkan kaki di puncak Kentheng Songo. Ada kebanggaan, syukur serta kepuasan tersendiri saat kami mencapai puncak. Pesona sunrise, "pulau" awan, udara sejuk, sinar matahari yang hangat serta pemandangan memukau dari ketinggian. Kami berhasil mengalahkan diri sendiri!
Namun kami harus segera turun. Tekanan udara di puncak tidak baik untuk berlama-lama. Puncak bukanlah tujuan. Bisa kembali ke permukaan dengan selamat, itulah tujuan utamanya.
Peserta dari Salatiga dan Semarang sudah berkenalan sebelum berangkat, namun tak bisa langsung akrab. Kris tahu ada sosok Yanti karena teman-temannya memanggil namanya. Namun hingga di puncak, Kris tak segera menyadari ada Yanti dalam rombongan. Dasar payah.
Lagi pula, tidak ada yang istimewa dari Yanti saat itu. Potongan gadis tomboi, badannya pendek, memakai celana panjang berkantong samping, kaos tangan dan kerudung kepala... Serius, dari sudut manapun tak ada menariknya. Itu disebabkan aku menilai hanya dari apa yang dilihat mata.
Saat perjalanan turun tiba-tiba aku sedikit (sedikit lho ya) terpesona dengan tindakan Yanti. Dia menenteng kresek belang-belang untuk memungut sampah plastik dan botol bekas air mineral yang ditemukannya. Ih, ngapain sih repot-repot begitu. Siapa pula yang akan terganggu dengan sampah di gunung ini? Peduli amat!, ejekku dalam hati.