Seorang kakek membawa helm hitam keluar rumah. Kejadian sore hari, tapi sinar matahari masih terang. Kukira helm itu mau dijemur, atau dicuci.Â
Ada kran di luar pagar rumahnya. Tiba-tiba, brukk!! Aku bertanya kenapa helmnya dibuang? Nanti bagaimana kalau bepergian? Pertanyaan ini retoris, sebab dua helm terparkir rapi di atas kandang burungnya.
"Saya tuh punya helm banyak. Kalau sudah tidak bagus ya saya buang. Buat apa disimpan? Ndak kayak Mbah Uti, perkakas wadah plastik saja disimpan, padahal sudah banyak toples." Berkebalikan dengan bapak-ibuku. Bapak suka menimbun barang, ibu suka beberes.
Penggalan kisah ini kemungkinan dialami kebanyakan kita. Aku akan menceritakan singkat kesukaan bapakku menimbun barang. Di rumahnya, hampir semua barang bekas tersedia.Â
Saking banyaknya, susah mencari barang yang diperlukan. Rumahnya di kampung cukup luas, namun barang-barang terus ditimbun, jadi sempit juga.
Potongan papan, balok, bambu, besi bekas, beragam tali, sekrup, paku, botol kaca, botol plastik hingga kertas bekas bungkus rokok (biasanya untuk mencatat nomor HP temannya).Â
Dampak hobinya ini, semua sudut rumahnya menjadi gudang pribadi. Mengusik pemilik mata lain. Tidak nyaman untuk menerima tamu. Namun tidak demikian bagi bapak.
Kebiasaan menimbun barang dikenal dengan hoarding disorder. Yakni perilaku menimbun barang yang tidak berharga.
Alasannya, menganggap benda tersebut akan berguna suatu hari, mengingatkan pada suatu peristiwa atau merasa aman dikelilingi barang-barang tersebut. Mayoritas hoarder tidak menyadari gangguan psikis ini.