Mohon tunggu...
Kraiswan
Kraiswan Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Ketupat, Ayam dan Petasan: Menu yang Menghidupkan Lebaran

3 Mei 2022   23:35 Diperbarui: 4 Mei 2022   09:32 959
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seminggu menjelang lebaran, jalanan di pusat kota telah sesak. Kendaraan plat dalam dan luar kota menjejali aspal. Penjual dan pembeli saling sibuk dengan barang dagangan. Inilah tanda-tanda lebaran telah di depan mata.

Trotoar dan tepi jalan sekitar pusat kota telah berubah "warna". Apalagi H-3 lebaran. Dipenuhi pengrajin kelontong ketupat, penjual ayam dan tentu saja petasan.

Aku tidak merayakan lebaran, namun turut merasakan kemeriahannya. Lebaran kali ini terasa lebih hidup. Tidak seperti dua tahun sebelumnya, sepi. Tak ubahnya hari-hari biasanya.

Semua disebabkan pandemi Covid-19 yang mengubah banyak tatanan hidup kita, termasuk merayakan lebaran. Silaturahmi tatap muka harus ditahan demi kesehatan dan keselamatan bersama. Dua tahun berlalu, meski Covid-19 belum lenyap, kita mendapat berbagai kelonggaran untuk merayakan lebaran. Yang merantau boleh mudik. Yang mau liburan boleh. Yang mau silaturahmi bebas.

Tiap orang (keluarga) punya cara masing-masing untuk menyambut hari kemenangan setelah menjalani tiga puluh hari berpuasa. Yang pasti, perayaan itu tidak jauh-jauh dari ketupat, ayam dan petasan. Para pedagang tiga produk ini semangat meraup rezeki.

Yang pertama ketupat. Ketupat berasal dari bahasa Jawa kupat (ngaku lepat, mengaku salah). Filosofi dalam makanan nasi berbungkus anyaman janur (daun muda dari kelapa) yang dihayati umat muslim dalam merayakan lebaran. Selain bersilaturahmi dengan keluarga-kerabat, menjadi momen yang baik untuk saling bermaaf-maafan.

Bagi masyarakat pedesaan, kelontong ketupat dibuat sendiri. Janurnya juga diambil dari pohon kelapa sendiri, atau minta punya tetangga. Hampir pasti, orang kampung bisa membuat kelontong. Ayahku, meski tidak merayakan lebaran juga bisa membuat kelontong. Pernah diajari kakek yang beragama muslim.

Kelontong buatan bapak | dokpri/YANTI
Kelontong buatan bapak | dokpri/YANTI

Sedang bagi masyarakat perkotaan, kelontong harus dibeli di pasar, dijual 10 biji per ikat. Tersedia yang sudah jadi, atau bisa dibuat dadakan. Ada yang membawa janur, lalu menganyam di tempat, dibuat dadakan sesuai permintaan. Kecepatan dan kecakapan pengrajin sangat berpengaruh pada pendapatan.

Setelah menjalankan ibadah sholat ied, tibalah waktu berkunjung ke rumah tetangga dan kerabat. Biasanya dalam kunjungan ini ditawari makan ketupat-opor. Apalagi kalau di rumah kerabat, tak diizinkan pulang sebelum makan. Lagi pula siapa yang tahan dengan pesona ayam dalam lautan kuah santan bumbu kuning yang gurih dan nikmat. Jangan mengaku merayakan lebaran kalau belum makan ketupat-opor.

Ketupat opor, menu andalan merayakan lebaran | foto: KRAISWAN
Ketupat opor, menu andalan merayakan lebaran | foto: KRAISWAN
Menu yang kedua dalam merayakan lebaran yakni ayam. Di musim lebaran, ada dua jenis penjual ayam selain ayam negeri yang melapak di hari-hari biasa. Ada penjual ayam kampung, dan ayam merah (ayam petelur yang tidak lagi produktif). Di samping pengrajin kelontong, berdiri pagar bambu tidak permanen pedagang ayam merah.

Ayam merah ini menjadi alternatif daging untuk lebaran di samping ayam negeri yang harganya meroket saat lebaran. Ayam kampung sendiri yang mengasilkan kaldu paling enak (meski dagingnya alot) harganya jauh lebih mahal. Ibuku misalnya, baru saja menjual beberapa ekor ayam kampung peliharaannya. Satu ekor jago dibaderol Rp 100.000/ekor, sedang ayam betina dihargai separuhnya.

Mau ayam negeri, ayam kampung atau ayam merah sama-sama digemari khususnya di musim lebaran. Para pedagang meraup untung lebih dibanding hari-hari biasanya.

Item ketiga yang mewarnai lebaran adalah petasan (dan kembang api). Bagian ini menjadi kegemaran anak-anak. Orang tua juga berusaha menyenangkan anak, ponakan atau cucu dengan membelikan mainan yang memercikkan api ini. Hingga malam, toko dan asongan petasan-kembang api ramai antrian pembeli.

Antrian pembeli di toko kembang api | foto: KRAISWAN
Antrian pembeli di toko kembang api | foto: KRAISWAN

Beginilah budaya kita merayakan hari kemenangan. Dengan menyalakan petasan "Jedyar! Dor! Dor!", barangkali mewakili luapan hati yang menang atas ujian yang dijalani selama sebulan penuh. Bagi anak-anak, percikkan api dan letupan membahana benda ini menjadi hiburan tersendiri. Sekedar meramaikan.

Di kampung-kampung lebih dahsyat lagi. Di kampungku, misalnya, tiap lebaran jalanannya berubah menjadi "salju". Sebabnya yakni potongan kertas dari ratusan petasan yang dinyalakan. Para remaja (ada juga orang tua yang kebahagiaannya menyalakan petasan) bahkan meracik dan menggulung sendiri kertas bahan petasan.

Dapat bubuknya dari mana, mereka tahu kontak penjualnya. Meski berbahaya, dan sudah banyak korbannya, budaya ini sulit dilepaskan dalam momen lebaran. Meski seru, harus tetap berhati-hati ya, gais.

Kalau kamu, apa yang mewarnai lebaranmu kali ini menjadi lebih hidup? Selamat Hari Raya Idul Fitri 1443 Hijriyah. Mohon maaf lahir dan batin. --KRAISWAN 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun