Sudah seminggu ini kita memasuki bulan Ramadan. Hal ini setelah pemerintah menetapkan 1 Ramadan 1443 Hijriah yaitu pada Minggu 3 April 2022. Ibarat perjalanan, puasa ini baru seperempat jalan. Kiranya diberikan kekuatan dan keteguhan agar menjalankannya dengan maksimal.
Ramadan tahun 2022 bakal berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Betapa tidak, selama dua tahun para perantau dilarang mudik demi mencegah penularan Covid-19. Kini, setelah kasus Covid-19 Indonesia dapat ditangani pemerintah mengizinkan masyarakat untuk mudik. Hal ini tentu menjadi kabar baik bagi kebanyakan orang, khususnya kaum urban.
Seperti diberitakan kompas.com, vaksinasi dosis ketiga (booster) menjadi syarat warga boleh pulang kampung, demikian ungkap Jokowi pada konferensi pers daring Rabu (23/3/2022). Orang yang baru vaksin dosis pertama juga boleh mudik, namun harus menunjukkan hasil negatif pada tes PCR. Sedangkan yang sudah dua dosis, wajib melakukan tes antigen.
Kabar baik lainnya, sejauh pengamatanku, tahun ini sepi pemberitaan tentang razia warung makan oleh Satpol-PP di berbagai daerah, termasuk di tempat domisiliku, Salatiga. Hal ini tentu baik, karena razia semacam ini menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, khususnya pedagang.
Sepulang ngantor, seperti biasa, aku melalui pasar. Namun kali ini bukan untuk berbelanja, melainkan untuk memantau keadaan. Dulu sebelum pandemi, setiap bulan puasa, jalanan bakal sepi penjual makanan/ minuman. Biasanya terjadi di minggu awal bulan Ramadan. Setelahnya, para pedagang mulai menggelar lapak. Kali ini, sejak awal para pedagang telah melapak.
Para pedagang dalam pantauanku itu diantaranya penjual minuman racik kemasan, es campur, es dawet, makanan ringan, hingga sate---yang saat dikipas aromanya kemana-mana! Meski begitu tidak ada yang protes, atau melakukan penutupan paksa. Kehidupan di pasar Salatiga berjalan seperti hari-hari lainnya.
Nampak fokus kita saat ini terpusat pada kewaspadaan Covid-19 yang masih mengintai di tengah upaya pemulihan ekonomi. Bagiku, kehidupan normal para pedagang makanan di pasar ini menunjukkan tingginya toleransi di Kota Salatiga.
Berjualan di bulan puasa kok toleransi, sih? Begini, mari lihat dari sudut pandang berbeda. Yang namanya pasar, adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli. Benda yang dijajakan pun beragam. (Aku sering memakai pasar sebagai analogi keberagaman pada murid-muridku.) Mulai dari benda pecah belah, pakaian, tambal panci, lem tikus, dan tentu saja berupa-rupa bahan makanan.
Bahan makanan pun dibagi menjadi beberapa kategori. Ada yang mentah (sayuran, beras, ikan, daging ayam, tepung, minyak, dll), setengah matang (tahu, tempe, bakso), matang tidak langsung makan (buah-buahan, beragam lauk), dan matang siap santap (es dawet, jajanan ringan seperti lemper, tahu bakso, arem-arem, dll). Tidak salah orang berjualan, apalagi di pasar, secara itulah nafkah mereka sekalipun di bulan puasa.
Lagi pula, orang yang di pasar/ lewat pasar tidak semuanya muslim, tidak semua puasa. Ada juga yang niat mau berpuasa, tapi karena datang bulan, lalu batal puasanya. Di Salatiga ada banyak mahasiswa dari luar pulau yang non-muslim, yang tidak berpuasa. Biasanya paling "menderita" di bulan puasa karena hampir semua warung makan sekitar kampus tutup. Kalau pun ada yang buka, menunya bukan selera mereka. Tapi daripada kelaparan, mereka makan juga.
Fenomena orang berjualan makanan di bulan puasa kiranya menjadi ujian dan latihan bagi yang menjalankan puasa. Puasa bisa diartikan menahan diri pada makanan, minuman atau sesuatu hal tertentu pada rentang waktu tertentu. Jika niat puasa, ada yang jualan makanan semenggoda apa pun, tak usah dibeli jika belum waktunya berbuka. Misal ada orang yang tidak puasa, lalu dengan tulus menawarkan anda makanan/ minuman pada anda padahal sedang puasa, masa iya anda pasrah menerima?
Para pedagang makanan di Salatiga tetap berjualan di pasar meski di bulan puasa mempertegas toleransi di kota ini. Pantas saja kota ini dinobatkan sebagai kota paling toleran tertinggi di Indonesia (di atas Singkawang dan Manado) dengan Indeks Kota Toleransi (IKT) 2020 sebesar 6,717. Sebelumnya, pada 2015, 2016 dan 2018 Setara Institute juga menempatkan Salatiga di posisi 10 besar kota paling toleran di Indonesia.
Direktur Riset Setara Institute, Halili Hasan berujar, indikator penilaian ini dilihat dari regulasi dan kebijakan yang diterapkan pemerintah di suatu kota. Bentuk konkret penerapan regulasi pemerintahan yang toleran dapat dilihat dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Darurat (RPJMD). Menurut studi dalam Indeks Kota Toleran, Salatiga memiliki RPJMD dengan kualitas lebih baik dibanding kota lain dalam hal toleransi.
Di lingkup RT domisiliku juga senada. Pertemuan rutin tetap diadakan dengan prokes. Biasanya dilakukan pukul 19.00, namun untuk menghormati yang berbuka puasa dan sholat, pertemuan dilakukan lebih larut, jam 20.00 WIB. Toleransi dalam keberagaman ini yang perlu kita jaga dan lestarikan.
Empat dikali empat sama dengan enam belas
Biar telat ucapanku ikhlas: Selamat menjalankan ibadah puasa bagi anda yang merayakan --KRAISWANÂ
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI