Seribu langkah dimulai dari satu langkah kecil, setiap hari
Demikian pepatah yang pernah diucapkan dosenku dalam salah satu mata kuliahnya. Jika diibaratkan "langkah" itu adalah artikel yang kutulis di Kompasiana. Aku bermimpi bisa menulis seribu artikel. Artikel ini adalah yang ke-200, baru satu dari lima bagian.
Perjalanan masih jauh dan panjang. Tak mengapa, aku akan meneruskan langkah-langkah kecil setiap waktu agar menuju seribu.
Seperti pernah aku utarakan, menulis sudah menjadi bagian jiwaku. Mustahil aku hidup tanpa menulis. Kata orang, jika kita suka mengerjakan sesuatu, tanpa paksaan, meski tiada imbalan; itu yang disebut passion. Ya, menulis telah menjadi hasrat dalam diriku.
Bak ulang tahun seseorang atau suatu lembaga, aku mau merayakan artikelku yang ke-200 dengan versiku. Kenapa tidak menunggu 500 atau 1000 artikel baru dirayakan, supaya "nendang" gitu? Iya kalau perjalananku sampai di sana. Kalau ternyata cuma sampai di 200, atau 201...?
Berikut beberapa hal yang aku syukuri dalam perjalanan ke-200 ini.
Dimulai dari rindu
Aku sudah punya blog pribadi sebagai alat perjuangan sebelum bergabung di Kompasiana. Karena "hasutan" teman, aku terlibat juga di sini. Aku sudah membela hakku, bahwa aku tak punya cukup kapasitas untuk menulis. Catatan belanja emak-emak bahkan lebih merdu serta estetis daripada coretanku di blog.
Karena "dipaksa", aku mengikut juga. Kalau kuat, ya lanjut. Jika tidak, lambaikan tangan ke arah kamera. Dan, di titik ke-200 aku sekarang. Aku cukup sanggup bertahan meski banyak tersalip "pembalap" lain.
"Pergi demi rindu" adalah cerpen pertamaku. Meski tak ada sosok yang bisa dijadikan alasan merindu, aku nekat menulis topik ini sekedar menghormati undangan temanku. Aku merindukan rumah dalam rangka pertama kali merantau untuk bekerja. Dari artikel rindu ini akhirnya aku hidup di alam Kompasiana.
Menulis gara-gara aku
Melalui media sosial WA dan FB, aku membagikan buah pikiranku pada teman-teman, tidak hanya sesama penulis, tapi siapa pun yang mau membaca. Siapa sangka, ada satu dua yang memberi respons.
Beberapa teman akhirnya bergabung menulis di Kompasiana. Sebagian menyampaikan langsung misalnya Mbak Nita Kris. Seorang pemerhati dan psikolog pendidikan anak ini langsung aktif di Kompasiana. Bahkan, jika dihitung rata-rata "langkah" yang diambil Mbak Nita melesat jauh meninggalkanku. Hebat!
Setelahnya ada Mbak Guru Okka, Mas Guru Yosua, Mas Kepsek Jalu, dan terbaru ada Mas Arya yang juga sangat aktif menulis. Mas Arya ini guru BK, tapi menyukai musik dan filsafat. Mantab!
Mengusik jiwa yang tertidur
Dari lalu-lalang informasi di media sosial dan berita online saat ini, ditambah hiburan berupa video dan "kontes" menari diiringi musik, bukan jaminan tak ada jiwa yang kesepian. Yang terlihat mata bisa saja menipu. Nampak eksis, bahagia, dan populer di media sosial, tapi jiwanya kesepian.
Apalagi selama masa pandemi. Saat fisik harus dibatasi dengan jarak dan tembok-tembok isolasi. Meski ada teknologi panggilan video, hingga otewe Metaverse, itu semua belum sanggup membangunkan jiwa yang tertidur dan kesepian.
Memang tiap orang punya cara sendiri untuk membangunkan jiwa. Ada yang dengan membuat review tentang makanan atau barang-barang mewah. Ada yang membuat vlog atau podcast. Ada yang harus nongkrong atau jalan-jalan ke mal, nongki bareng teman. Dan, ada juga yang menulis.
Aku termasuk kelompok yang terakhir. Jiwa yang terbentuk dari pengalaman, angan dan khayalan setiap hari bisa tertidur, membeku, lalu memfosil. Untuk mencegah itu, aku mengusahakan menulis. Tiap terbit satu artikel, satu bagian dari jiwaku terjaga lalu bercahaya. Dan aku akan terus membangunkan jiwa-jiwa lain yang masih tertidur. --KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H