Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Tuhan, Kenapa Aku Positif Lagi?

4 Maret 2022   07:45 Diperbarui: 4 Maret 2022   07:49 963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sudah booster, tapi positif juga | gambar: SHUTTERSTOCK via kompas.com

"Pak, kami harus sampaikan, Pak Kris positif." JEDYARRRRR! ... Bagaimana bisa...???! Kenapa......

Demikian petikan artikelku saat terkonfirmasi positif Covid-19, Juni 2021. Nyesek sekali waktu itu. Kini, setelah mendapat vaksinasi hingga dosis ketiga, positif lagi. Nyesek juga, meski tak sepanik sebelumnya.

Pertama kali tahu ada teman yang terpapar Covid-19, yakni awal-awal Corona menyapa Salatiga aku merasa ngeri-ngeri sedap. Tak punya pikiran negatif, meski teman ini tipe petualang alam dan mobilitas pekerjaannya cukup tinggi.

Pacarku (sebelum menikah) memintaku mengantarkan Virgin Coconut Oil (VCO) untuk teman itu di gedung dinas perkebunan Salatiga (tempat isolasi). Aku juga agak ngeri mau mengantar. Takut. Mau diantar sendiri atau via kurir? Akhirnya kuantar sendiri, kuletakkan di teras, tidak kontak langsung dengan teman itu.

Tahun lalu, waktu aku mengalami sendiri terpapar Covid-19, baru tahu, begini toh rasanya... Sempat syok seperti pembuka dalam artikel ini. Kali kedua terkonfirmasi, kondisiku lebih ringan. Gejalanya tidak seberat dulu, tapi memang varian Omicron lebih cepat menular.

Baca juga: Pergi-Pulang Lancar Naik Kereta tapi Positif Covid-19, Kok Bisa?

Mengutip health.detik.com, ciri umum Omicron pada orang dewasa yakni batuk, demam, kehilangan penciuman/ rasa dan kelelahan. Sedangkan ciri yang kurang umum sakit kepala, sakit tenggorokan, diare, nyeri, ruam kulit, dan iritasi mata. Aku mengalami dua gejala yang kurang umum.

Hari Kamis (24/2) aku vaksin booster, pas diadakan gereja yang menaungi tempat kerjaku. (Tidak berebut sih, tapi ada adegan antrianku diserobot dalam "Suka Menyerobot? Awas Tak Jadi Berkat, Pengalaman Vaksin Booster") Jumat-Sabtu lenganku bengkak dan pegal, maka Jumat aku izin WFH. Minggu-Senin aku flu hebat dan radang tenggorokan, otomatis bermasker sepanjang hari hingga tidur.

Untuk menanganinya, aku minum VCO, jamu buatan istri dan 3 saset To*ak An*in, ditambah dengan istirahat cukup. Selasanya sudah plong betulan. Ah, paling hanya KIPI, pikirku. Selasa (1/3) adalah hari pertama Penilaian Tengah Semester II, sekolah kami menerapkan WFH menyesuaikan sikon Salatiga (level 3).

Rabu (2/3) siang guru-staf diminta datang ke sekolah untuk tes antigen. Aku tidak punya firasat buruk apa pun, tapi berpesan pada istri. Jika ada kondisi tak diinginkan, nantinya aku tidur di kamar atas.

Jam 2 kurang 5 menit aku tiba di sekolah. Beberapa rekan duluan tiba, menunggu nakes yang akan menguji. Kami pun segera antri, aku agak belakang sesuai urutan datang.

Apakah aku takut? Tidak juga, tapi harus siap dengan segala kemungkinan. Prokes selama ini dijaga ketat. Cuci tangan pakai sabun, wajib. Vaksinasi sudah tuntas. Jalani saja tes dan hasilnya.

Giliranku tiba. Petugas yang mengambil spesimen mengucap permisi, lalu ditusuknya hidung sedalam mungkin, sampai pedas rasanya. (Ini tusukan paling dalam dan pedas, sadis!) Kami yang sudah dites boleh segera pulang dan istirahat. Tak lupa, aku cuci tangan sebelum meninggalkan area sekolah. Prokes tetap, bro!

Aku mampir ke konter pulsa, kebetulan kuotaku habis. Mana harus WFH pula. Baru saja mau beranjak dari konter, tetiba ada pesan dari kepsek, sebuah foto. Meski belum kubuka, aku sudah tahu isinya. Syabar.... Dan betul, REAKTIF!

Hasil tes antigen | foto: dokumentasi pribadi
Hasil tes antigen | foto: dokumentasi pribadi

Aku bergegas pulang dan segera makan. Lapar euy! Tidak seperti saat pertama terkonfirmasi, kali ini aku lebih PD memberitahu istri. Waktu aku tanya, "Kamu takut ndak, mah?" Tidak katanya, haha.

Bersyukurnya, di rumah milik bapak ini ada dua kamar di lantai 2, satunya dipakai adik ipar, satunya kosong. Aku segera membereskan kamar, lalu menyiapkan semua "persenjataan" isoman seperti alas tidur, bantal-selimut, kabel colokan listrik, carger HP, laptop, beberapa buku bacaan, tisu, masker, dan air mineral.

Ada botol VCO di lantai 1, aku bisa minum sesekali dengan mencuci tangan tiap hendak mengakses barang. Pun, aku sangat meminimalisir menyentuh perabotan. Kebutuhan makan diambilkan istri ditaruh di tangga. Begitu selesai aku cuci sendiri.

Istri pernah berkata, sesusah-susahnya mengurus pekerjaan di rumah, lebih susah saat tinggal terpisah dalam kondisi sakit. Tidak bisa membantu. Kini, isolasiku masih di rumah, di kamar terpisah. Beban batin istriku tidak seberat dulu, masih bisa melayaniku menyiapkan makanan. Terima kasih istriku!

Istimewanya, kalau dengan istri makanannya dimasak sendiri sesuai selera. Dibuatkan gorengan juga, pas dapat minyak goreng. Plus minuman herbal buatan istri. Mantab toh!

Makanan dan minuman herbal buatan istri | foto: KRAISWAN
Makanan dan minuman herbal buatan istri | foto: KRAISWAN

Mengapa sehabis booster malah positif?

Itulah pertanyaan yang kembali mengusik kepalaku. Ada dua orang dinyatakan reaktif dari tes bersama siang itu. Melalui grup WA, temanku menginformasikan, kata salah satu nakes yang mengetes kami, reaktif di sini bisa saja flu biasa. Banyak makan dan istirahat, minum vitamin pasti segera pulih. Entah sekedar menghibur atau benar, tapi aku meyakininya.

Beberapa temanku yang sekitar seminggu booster mengalami gejala serupa. Menjawab pertanyaan di atas, dokter spesialis penyakit dalam RA Adaninggar menjelaskan vaksinasi ditujukan untuk melatih imun tubuh mengenali dan melawan virus. Tubuh manusia sendiri yag akan membuat antibodi dan sel imun melawan Covid-19. Kadar dan kualitas antibodi serta sel imun tergantung kondisi tubuh tiap orang. (kompas.com)

Fungsi booster, lanjut dr. Ning, adalah melatih ulang sistem imun dalam melawan virus SARS CoV2 sehingga diperoleh kadar antibodi lebih tinggi dan respons sel memori yang lebih kuat dan tahan lama.

Berikut ini pengalaman beberapa rekanku sehabis booster. Ms. A, booster hari Minggu, Sabtunya dinyatakan positif. Aku booster Kamis, Rabunya positif. Gejala kami sangat mirip, merk vaksin sama, dan rentang waktunya sama, tujuh hari.

Ms. B, hari Kamis (hari saat aku booster) merasa tenggorokannya tidak enak, tapi tidak demam. Jumat dia izin WFH, Senin swab (5 hari), hasilnya positif. Ia beberapa hari sebelumnya juga baru booster, dengan KIPI lumayan hebat. Ms. C, tidak merasakan gejala apa pun. Dia juga menduga, apa kami reaktif karena baru booster. Dia baru booster hari Minggu (20/2) lalu.

Kita adalah debu

Aku dan mungkin beberapa rekan yang terkonfirmasi positif Covid-19 punya daya untuk mengeluh, "Kenapa aku Tuhan?", "Kenapa terjadi lagi?" atau ungkapan lain senada. Tapi, kemarin (2/3) dalam perayaan Hari Rabu Abu aku kembali diingatkan, bahwa kita adalah debu dan akan kembali menjadi debu.

Perayaan ini juga mengingatkan kita bahwa kita---disadari atau tidak, kelihatan atau tidak---perlu bertobat setiap hari sebab tiap hari kita bisa melakukan dosa. Bukan berarti juga saya (dan kita) yang terkonfirmasi disebabkan karena dosa. Memang ada kasus tertentu sakit sebagai akibat dosa.

Kesadaran "kita adalah debu" mengarahkan pada pemahaman bahwa dalam menjalani hidup ini, apa pun kondisinya kita memerlukan pertolongan Tuhan. Tidak ada yang perlu dibanggakan berlebihan, maupun disesali. Aku sakit, supaya aku lebih bergantung kepada Tuhan.

Filosofi sambal bawang

Seandainya hidup ini adalah tentang aku dan istri, mungkin tidak jadi soal. Masalahnya, kami berinteraksi dengan banyak orang. Ada tetangga lansia depan rumah kami, punya cucu usia 9 bulan, semingguan ini dititipkan karena ayah si bayi positif Covid-19. Bapak (tetangga) itu dan anaknya menjadi pelanggan jamu kami, dan sudah beberapa kali membeli.

Kami merasa sungkan dan takut kalau sampai menularkan pada mereka. Waktu kujelaskan lewat telepon, reaksi bapak ini mencengangkan. "Sejak kita dilahirkan, flu ini kan sudah ada, Mas. Sekarang saja namanya diganti-ganti. Kalau masih bisa bikin sambal bawang, masih bisa gerak dan tidak harus rawat inap; makan yang banyak pasti segera sembuh."

Ah, orang dewasa lain di dekatku. Sambal bawang adalah representasi kesederhanaan dan kebersahajaan orang Jawa. Kalau masih bisa membuat sambal bawang, bisa makan, bisa kerja, sakitnya pasti sembuh! --KRAISWAN

Boleh mampir: Virgin Coconut Oil, Suplemen Ajaib saat Terpapar Covid-19

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun