Mohon tunggu...
Kris Wantoro Sumbayak
Kris Wantoro Sumbayak Mohon Tunggu... Guru - Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

dewantoro8id.wordpress.com • Fall seven times, raise up thousand times.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Gorengan Dicinta, Minyak Pun Tiba

2 Maret 2022   18:13 Diperbarui: 11 Maret 2022   04:00 1204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi minyak goreng.(KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO) 

Bisakah manusia hidup tanpa minyak goreng? Jawabnya bisa "ya", juga "tidak". 

"Ya", jika mau mengurangi mengonsumsi makanan olahan minyak dan mengganti dengan olahan lain. Tapi juga "Tidak", jika penghidupannya seputar minyak goreng.

Menariknya, pekan lalu istriku masih bisa membeli gorengan di pasar harganya sama. Penjualnya dapat minyak goreng dari mana, punya stok berapa, kualitasnya seperti apa, tentu hanya mereka yang tahu. 

Yang jelas, mereka tidak ikutan mogok menggoreng seperti pengusaha tahu-tempe lantaran harga kedelai naik.

Ini menjadi salah satu indikasi bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk adaptif. Tidak "mati" hanya karena satu-dua hambatan dan masalah.

Baca juga: Harga Minyak Goreng Mahal? Ini 3 Tips Menghadapinya

Suatu hari, terjadi percakapan dengan istri, "Kemarin waktu minyak murah, kenapa kita tidak beli yang banyak buat stok ya, satu krat gitu...?" Aku memulai.

"Iya, kita punya stok minyak, tapi tidak beli beras dan lain-lain?!" balasnya agak meninggi (wkwkwk). Harus diakui, di dunia ini orang yang punya modal yang akan menguasai stok. Sebuah perusahaan di Sumut yang menimbun jutaan liter minyak contohnya.

Tapi kembali lagi, bahwa hidup tidak melulu tentang minyak goreng. Ada hal-hal lain yang perlu ditangani seperti harga beras dan gas LPG yang naik, tahu-tempe yang langka, dan deretan masalah yang datang silih berganti. 

Dengan kemampuan adaptif, mari maksimalkan sumber daya yang ada untuk bertahan, syukur menghasilkan.

Semenjak minyak goreng langka, kami sekeluarga mengurangi makan gorengan. Sebelumnya, seminggu dua kali kami wajib makan gorengan. 

Mendoan dan pisang goreng adalah favorit kami. Selingannya bakwan dan tahu isi. Apalagi harga bahan baku di Salatiga sangat murah, kami lebih suka menggoreng sendiri.

Kami masih ada sedikit minyak (sekitar 500 ml) dicukup-cukupkan untuk menyangrai bumbu sesekali. Namun, diusahakan harus segera beli, minimal 2 liter. 

Jika tidak makannya sayur melulu yang bumbunya direbus. Bosan nggak? Di sinilah kami bakal merekayasa anggaran. Supaya bisa beli minyak yang harganya berlipat ganda, ada anggaran lain yang harus dikurangi.

Gorengan dicinta, minyak pun tiba! | gambar: KRAISWAN
Gorengan dicinta, minyak pun tiba! | gambar: KRAISWAN

Teman kerjaku pernah memberi info adanya minyak goreng di suatu mini market. Tapi tidak memuaskan karena kemasan literan, jumlahnya sangat terbatas.

 Sewaktu mengantar istri belanja, di sebuah kios pasar tradisional ada yang menjual minyak goreng kemasan 2L seharga Rp 42.000. Mahal. Kami tunda membeli, menghabiskan stok yang ada di rumah. Nanti kalau sudah kepepet, bakal dibeli juga.

Ada teman yang berdagang sembako via story WA. Salah satu dagangannya adalah minyak goreng. 

Saat di pasaran minyak langka, teman ini bisa punya stok hingga berkarton-karton, namun non-subsidi. Padahal dia tidak punya toko. Seperti kata istriku, siapa yang punya modal, ya bisalah membeli.

Aku iseng bertanya berapa harganya. Dibalasnya Rp 41.000/2L. Tak jauh beda dengan yang di pasar tradisional. Kami pun menunda untuk membeli minyak.

Selama masih bisa berjalan selama itu pula kita harus berusaha, demikian kata pepatah. Waktu berkunjung ke rumah orang tua, aku iseng bertanya apakah ibuku masih bisa membeli minyak goreng. 

Sebab semenjak resign dari pabrik, dia punya usaha kecil-kecilan berjualan gorengan. Usaha yang baru ditekuni sekitar tiga bulan ini berhasil menolongnya mengatasi depresi seperti kebanyakan orang yang sudah pensiun---tak tahu mau melakukan apa.

Dengan enteng ibu menjawab, masih bisa (beli minyak), "Bisanya beli seliter ya beli seliter, tak usah maksa." 

Khas, pola pikir bijaksana seorang perempuan dewasa yang menjadi panutan. Kutanya di mana ibu membeli dan berapa harganya. 

Ternyata belinya di tempat kakak sepupu yang berdagang sayuran di dekat rumah bapak-ibu. Harganya Rp 18.000/L. 

"Ooo... murah ya," ujarku lugu.

Baca juga: Minyak Goreng Langka, Energi Dahulu Perut Kemudian

Waktu aku ceritakan hal ini pada istri, aku kena omel. "Helah, kenapa ndak dibeli, mumpung murah itu!" Dasar emak-emak. 

Kebetulan kakak sepupu ini punya anak, kelas 7 SMP. Anaknya ini sering minta diajari mengerjakan tugas padaku. Dengan mudah aku booking pada keponakanku, tiga botol!

Info dari ibuku, kakak ini bisa dapat minyak goreng botol seliteran satu krat di sebuah toko sembako di Salatiga. Kembali lagi istri berujar, "Ya itulah, kalau punya modal bisa saja dibeli. Masalahnya kan kebutuhan kita tidak hanya minyak goreng."

Kami tak perlu rebutan minyak goreng murah Rp14.000, apalagi sampai sekeluarga memenuhi swalayan dengan bersikap tak saling kenal. Akhirnya kami bisa membeli minyak goreng dengan harga cukup terjangkau. Dapatnya pun tak jauh-jauh, dari kakak sepupu sendiri.

Kembali menikmati gorengan hangat | foto: KRAISWAN
Kembali menikmati gorengan hangat | foto: KRAISWAN

Gorengan dicinta, minyak pun tiba! Setelah hampir sebulan puasa gorengan, kami pun berkesempatan mencicipi pisang goreng dan mendoan hangat. Nikmat!

Kalau anda sudah dapat minyak goreng? --KRAISWAN 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun