Sebab semenjak resign dari pabrik, dia punya usaha kecil-kecilan berjualan gorengan. Usaha yang baru ditekuni sekitar tiga bulan ini berhasil menolongnya mengatasi depresi seperti kebanyakan orang yang sudah pensiun---tak tahu mau melakukan apa.
Dengan enteng ibu menjawab, masih bisa (beli minyak), "Bisanya beli seliter ya beli seliter, tak usah maksa."Â
Khas, pola pikir bijaksana seorang perempuan dewasa yang menjadi panutan. Kutanya di mana ibu membeli dan berapa harganya.Â
Ternyata belinya di tempat kakak sepupu yang berdagang sayuran di dekat rumah bapak-ibu. Harganya Rp 18.000/L.Â
"Ooo... murah ya," ujarku lugu.
Baca juga:Â Minyak Goreng Langka, Energi Dahulu Perut Kemudian
Waktu aku ceritakan hal ini pada istri, aku kena omel. "Helah, kenapa ndak dibeli, mumpung murah itu!" Dasar emak-emak.Â
Kebetulan kakak sepupu ini punya anak, kelas 7 SMP. Anaknya ini sering minta diajari mengerjakan tugas padaku. Dengan mudah aku booking pada keponakanku, tiga botol!
Info dari ibuku, kakak ini bisa dapat minyak goreng botol seliteran satu krat di sebuah toko sembako di Salatiga. Kembali lagi istri berujar, "Ya itulah, kalau punya modal bisa saja dibeli. Masalahnya kan kebutuhan kita tidak hanya minyak goreng."
Kami tak perlu rebutan minyak goreng murah Rp14.000, apalagi sampai sekeluarga memenuhi swalayan dengan bersikap tak saling kenal. Akhirnya kami bisa membeli minyak goreng dengan harga cukup terjangkau. Dapatnya pun tak jauh-jauh, dari kakak sepupu sendiri.
Gorengan dicinta, minyak pun tiba! Setelah hampir sebulan puasa gorengan, kami pun berkesempatan mencicipi pisang goreng dan mendoan hangat. Nikmat!