Sekeras-kerasnya kamu mencoba, kalau bukan rezekimu ya tak akan dapat. Sebaliknya, sekecil-kecilnya kamu usaha, kalau rezekimu pasti dapat. --ayahnya temanku
***
Hari ini aku mendapat vaksin booster Astrazenecca di gereja yang menaungi sekolah tempatku bekerja. Sejak awal bulan Februari, beberapa temanku sudah heboh untuk mendaftar di puskesmas sekitar---banyak menyediakan layanan vaksin booster. Aku bangga, lingkunganku berisi pejuang protokol kesehatan dan vaksinasi. Peduli pada kesehatan diri dan sesama.
Aku tidak booster bareng mereka. Bukan karena aku menolak. Sebab, ada kebijakan yang menyebut syarat menerima vaksin booster adalah enam bulan sejak menerima dosis kedua.Â
Aku baru lima bulan, jadi menahan diri. Namun, kapan lalu temanku belum sampai enam bulan sudah boleh vaksin booster. Maka, begitu ada info di grup guru bahwa gereja mengadakan vaksinasi booster, aku langsung mendaftar. Dekat, bisa mendapat antri di awal pula. Enak toh?
Baca juga:Â Pergi-Pulang Lancar Naik Kereta tapi Positif Covid-19, Kok Bisa?
Hari ini aku ada jadwal mengajar online di jam pertama, sedang pelaksanaan vaksin jam 08.00---sama dengan jamku mengajar. Syukurnya, temanku pengertian mau bertukar jam. Jadi temanku mengajar lebih dulu, 1 JP, setelahnya baru aku.
Temanku yang lain juga mengusahakan kenyamanan buatku. Dia melobi panitia pelaksanaan vaksin agar aku didahulukan, sebab akan segera mengajar. Temannya itu meminta aku menemuinya. Meski demikian, aku tidak terbiasa dengan cara begitu. Aku tetap mengantri, tidak mengklaim previledge yang diusahakan temanku. Lagipula antriannya tidak begitu panjang, pasti selesai sebelum jam mengajarku tiba.
Saat mengantri inilah terjadi adegan yang menyebalkan sekaligus menggelikan. Yakni ada seorang ibu paruh baya yang menyerobot antrianku.
Di area parkir motor, panitia sudah menyiapkan sejumlah kursi untuk antri. Setelah mengisi formulir di meja pendaftaran, peserta bisa menempati bangku sesuai urutan duduk. Ada tiga baris yang diatur berjarak. Tiap baris ada sekitar 15 kursi.
Peserta yang di urutan depan adalah mas-mas OB gereja. Mereka rajin sekali, sudah antri sebelum petugas Puskesmas datang. Menunggu sekitar 20 menit, petugas pun datang. Panitia mengarahkan, peserta di bagian depan akan ditensi lebih dulu, per empat orang. Aku ada di bagian agak tengah, jadi ada di kloter keempat atau lima. Mekanisme: jika peserta sudah meninggalkan bangku untuk ke meja tensi, orang yang di sebelah kanan bergeser tempat duduknya.
Nah, satu bangku di ujung kiriku kosong, baru aku berdiri, seorang ibu memakai jeans, polo pink dan sepatu kets menyerobot tanpa dosa. Aku pun gemas, ini ibu tahu sopan santun atau tidak ya? Emang dia saja yang punya kepentingan?
Disebabkan seragam batikku sama dengan yang dikenakan kepala sekolah---yang ikut mengawasi---dan nametag, aku menahan untuk tidak marah. Nama lembaga taruhannya. Masih untung ibunya bermasker, jika tidak aku akan bersuara. Aku juga teringat, dua hari lalu mengajar anak-anak tentang sabar. Inilah waktu untuk praktik. Gampang? Susah pooolll!
Kejengkelanku seolah terbayar kemudian. Agak lucu sih. Giliranku pun tiba dipanggil ke meja tensi. Ibu baju pink yang tadi menyerobot antrianku masih di sana, padahal sudah ada 3-4 orang sebelum aku. Kenapa gerangan? "Tensinya tinggi bu, 200. Istirahat dulu di sana ya, nanti ditensi lagi," ujar nakes. Sudah dua kali ibu itu ditensi.
Salah satu panitia bahkan menasihati supaya ibu ini sarapan dulu sambil minum teh hangat---yang mana tidak disediakan panitia. Yang sabar ya bu....
Aku pun segera disuntik, mak nyus! Mantab! Sudah dapat dosis ketiga, puji Tuhan! Aku meminta izin kepala sekolah untuk kembali ke ruanganku. Tapi aku diminta menunggu di kursi tunggu, antisipasi kalau ada KIPI.
Baca juga:Â Akhirnya Vaksin Kedua, Ini 3 Kebahagiannya!
Entah apa namanya, azab, karma atau apa pun itu, ibu polo pink yang menyerobot antrianku tadi malah mengikutiku. Niatnya pengen lebih cepet, tapi malah aku selesai duluan. Meski mulut tertutup masker, aku hanya berkata, "Hmm... Jangan suka menyerobot ya bu, nanti tak jadi berkat loh..."
Lantas, kenapa para koruptor yang merampas uang, dan hak rakyat sering mendapat kebebasan, kalau pun dihukum tidak setimpal dengan tindak kejahatannya ya? Entahlah, hanya si pelaku dan penegak keadilan dan Tuhan yang tahu jawabannya. Prinsip: tabur tuai. Apa yang kita tabur, itu juga yang kita tuai. ---KRAISWAN
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H